Sabtu, 20 September 2014

BULAN TERTUTUP AWAN (Karya: Alfian Ripani, S.Pd)

BULAN TERTUTUP AWAN
(Karya: Alfian Ripani, S.Pd)
Rembulan terpikat tersipu malu. Ketika bintang datang mendekat. Ada rasa mengalir hangat. Dalam relung hati  sukma berhasrat. Melayang angan  terbang ke langit lepas. Menembus cakrawala luas terlihat tak berbatas.
Kini, jelas sudah bagi Bintang  apa yang selama ini menyebabkan Bulan menjadi  malu dan salah tingkah. Rupanya mimpi itu. Ya, mimpi itu  begitu membekas dalam dirinya hingga tak  pupus dari ingatan. Tak kuasa  dia memendam mimpi-mimpi itu hingga akhirnya dia tumpahkan mimpi itu   pada Bintang, lelaki  yang selama ini diam-diam  dipujanya, walaupun dengan muka  sedikit  memerah  menahan  rasa malu. Satu sikap yang perlu keberanian luar biasa bagi seorang perempuan untuk menceritakan sebuah mimpi indahnya   kepada seorang lelaki yang diam-diam dipujanya.
“Ah, peduli amat! Bukankah di abad ke-21 ini tidak ada lagi perbedaan antara laki-laki dan perempuan? Bukankah dulu Siti Zulaiha juga menyatakan rasa cintanya kepada Nabi Yusuf juga secara terang-terangan? Dan bukankah pada akhirnya Siti Zulaiha berhasil meraih cinta Nabi Yusuf walaupun sebelunya harus melalui kejadian yang memalukan?”   Guman Bulan di dalam hati.
            Memang, sejak mengenal Bintang  setahun yang lalu Bulan merasakan   ada sesuatu yang menarik dan menjadi magnet dalam diri lelaki itu hingga mampu menghipnotis dirinya. Seorang  lelaki ganteng, ramah,  murah senyum, dan enak diajak bicara. Dan yang terpenting perhatiannya selama ini memberi nilai plus bagi Bulan. Pendek kata, menurut Bulan, Bintang adalah sosok lelaki yang sempurna dan menjadi idamannya. Lelaki yang selama ini mampu memelintir hatinya sekailgus mengisi  kekosongan hatinya hingga membuat dia bertekuk lutut tak berdaya.
            Perlahan Bulan mengangkat mukanya. Sambil menarik napas panjang dia lalu bercerita.
“Mas, tadi malam aku bermimpi bertemu denganmu,” kata Bulan perlahan.
Bintang mendengarkan Bulan bercerita dengan penuh perhatian. Dia tidak ingin memotong cerita Bulan. Tatapan  matanya yang lembut dan senyumnya yang menawan menambah kekuatan  bagi Bulan  untuk melanjutkan ceritanya.
“Mimpi itu begitu  indah. Kau mencumbuku begitu mesra hingga sekujur tubuhku menggigil menahan gejolak jiwa. Semua terasa begitu nyata hingga aku tak bisa melupakannya.” kata Bulan degan suara serak dan lirih.
 Sesaat keadaan menjadi hening. Bulan tertunduk tak kuasa menatap Bintang. Dia merasa  sangat gelisah menunggu reaksi dari Bintang. Tapi, keadaan  berubah ketika Bintang berkata;
“Bulan, mengapa kita mengalami mimpi yang sama? Aku juga mengalami mimpi indah seperti yang engkau alami, ” kata Bintang.
“Aku yakin, ini suatu pertanda   bahwa kita akan dipersatukan dalam ikatan cinta yang suci dan abadi,” kata Bintang lagi sambil meraih dan mengelus lembut tangan Bulan.
Bulan  diam tersipu malu. Ada rasa hangat mengalir di tubuhnya. Ada rasa damai mengalir dalam dadanya
“Bulan, mimpi adalah lukisan hati yang terdalam. Melukiskan keadaan hati yang sebenarnya. Bila mimpi itu menjadi nyata sudikah engkau  hidup bersamaku untuk selamanya?” Kata Bintang dengan suara bergetar penuh perasaan.
            Ingin rasanya Bulan melonjak-lonjak sambil berteriak karena girang   mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Bintang. Untung saja dia masih bisa menahan diri. Kata-kata itu bagaikan melodi cinta yang sangat merdu. Sanggup membuai dan mencumbu sukma yang selama ini mendambakan  akan cinta. Cinta seorang Bintang.
            Tak kuasa Bulan untuk berkata. Kedua bibirnya bergetar. Kedua bola matanya yang indah berkaca-kaca. Bulu matanya yang lentik sedikit basah kena air mata. Air mata bahagia.
            Bintang meraih pundak bulan. Lembut perlahan dielusnya pundak itu dan  Bulan pun semakin terbenam dalam pelukan  Bintang.
***
            Kriiiiing…………..kriiiing…………kriiiing, suara jam beker  nyaring mengejutkan sekaligus membangunkan Bulan dari tidurnya. Astaga …! Rupanya tadi aku sedang bermimpi, kata Bulan membatin. Perlahan diraihnya jam beker itu kemudian  mematikannya. Di lihatnya hari sudah pukul 06.00 Wita. Perlahan dia bangun dari tempat tidurnya menuju lemari kecil yang terletak di sudut kamarnya. Di atas lemari itu terletak foto Mas Agus, kekasihnya.
            Ditatapnya foto Mas Agus dengan perasaan galau. Sudah  hampir tujuh bulan  ini Mas Agus tidak pernah lagi memberi kabar lewat surat atau telpon. Baginya kabar itu sangat penting untuk membuktikan apakah dia masih setia dan sayang kepadanya.
Dua  tahun yang lalu Mas Agus pergi  bertugas ke daerah konflik di Aceh. Di sana, situasi keamanan  tiada menentu  sulit ditebak. Gerombolan pengacau keamanan bisa datang mengacau kapan saja tak kenal waktu. Banyak gedung sekolah dibakar hingga anak-anak tidak bisa sekolah sementara guru-guru pun juga merasa takut untuk mengajar sehingga pendidikan jadi terabaikan. Tidak sedikit tentara yang menjadi korban ditembak para gerombolan sampai tewas. Membayangkan hal seperti itu Bulan merasa  gelisah tetaapi kemudian pikirkan itu cepat ditepisnya jauh-jauh.
“Mas Agus, mengapa Mas tidak menyempatkan diri memberi kabar walau cuma lewat sms saja? Apakah Mas memang sudah melupakan aku karena sudah terpikat dengan gadis di sana?” Kata Bulan  membatin dengan hati yang risau.
“Salahkah aku bila berpaling pada laki-laki lain? Maafkan aku Mas, aku sudah letih menanti kepastian kabar darimu.” Kata Bulan lagi sambil menatap lekat foto Mas Agus.

***
            Setelah sarapan pagi, bergegas Bulan  pergi ke sekolah agar tidak terlambat. Dia bekerja pada salah satu Sekolah Menengah Pertama di kota Pelaihari. Dia dipercaya mengajar sebagai guru Bahasa Indonesia. Dia tidak mau kejadian seperti minggu yang lalu terulang lagi. Saat itu dia sempat dipanggil  kepala sekolah dan diingatkan agar datang ke sekolah tidak terlambat lagi.
            Akhirnya Bulan tiba di sekolah tepat pada waktunya. Perlahan sepeda motor vario maticnya menuju tempat parkir. Tapi, sial! Tempat parkir itu sudah penuh hingga dia  tidak bisa untuk parkir ditempat itu.
“Mari saya bantu memarkirnya,” kata Bintang datang dengan tiba-tiba hingga membuat Bulan jadi terkejut dan hatinya jadi  berdebar kencang.
                        “Eh-eh,” kata Bulan gagap  tak bisa berkata.
“Ah, lelaki ini yang selalu hadir menghias mimpiku hingga membuat hidupku penuh semangat,” kata Bulan dalam hati.
Dengan sigapnya Bintang mencari celah untuk memarkir sepeda motor Bulan hingga bisa  parkir di tempat yang aman.
“Terima kasih Bintang,” kata Bulan sambil tersenyum hingga terlihat jelas  kedua lesung pipitnya yang dalam manis menghias kedua pipinya.
            Bergegas Bulan pergi hendak masuk kelas, tapi langkahnya tersendat, ketika Bintang memanggilnya.
                        “Bu Bulan, tunggu sebentar. Ini ada surat untukmu,” kata Bintang.
                        “Surat? Surat dari siapa?” Kata Bulan.
“Surat dari aku untuk Bu Bulan,” Kata Bintang mantap sambil menunjuk dirinya sendiri.
            Dengan hati berdebar surat itu diterimanya. Sebuah surat dengan amplop warna merah jambu dihiasi  ornamen  bunga mawar yang mulai merekah.
“Terima kasih.” Kata Bulan singkat sambil meneruskan langkahnya memamasuki kelas.
            Di dalam kelas Bulan tidak bisa konsentrasi mengajar anak-anak. Pikirannya hanya tertuju pada surat warna merah jambu dari Bintang. Dia ingin cepat membacanya, agar tahu apa isi surat itu. Akhirnya dia putuskan memberikan tugas  kepada anak-anak  dengan membagikan lembaran LKS.
 Dengan hati-hati Bulan membuka surat itu, kemudian membacanya. Dia sangat gembira dan terharu. Rupanya surat itu berisi  ungkapan perasaan cinta Bintang yang begitu dalam  tulus kepadanya. Betapa bahagia Bulan   karena impiannya jadi kenyataan. Dia membayangkan betapa indahnya merenda hari-hari bersama Bintang. Salah satu bagian  surat berbunyi:
Bulan…, mimpi terindahku adalah  ingin hidup  berdampingan denganmu. Andai impian itu  kan terwujud, sudikah engkau berlayar mengarungi luasnya samudera bersamaku? Bersamamu  kuyakin bisa  menentang gelombang yang ganas. Bersamamu kuyakin kuasa menentang  badai dasyat. Menuju pantai harapan nan luas.  Hingga engkau lihat betapa indahnya malam berhiaskan bintang-bintang mengelilingi indahnya rembulan di cakrawala sana.

***
            Pukul 13. 00 Wita bel sekolah berbunyi 6 kali pertanda pulang. Anak – anak bersorak gembira. Mereka berlari berhamburan  keluar kelas ingin segera cepat pulang. Beberapa guru juga sudah bersiap untuk pulang. Bulan  melangkah dengan raut muka cerah sumringah menuju tempat parkir. Matanya menatap kesana-kemari  seolah ada yang dicari. Ya, dia memang sedang mencari seseorang, seorang Bintang, tapi rupanya Bintang sudah lebih dulu.
“Ah, rupanya dia sudah pulang lebih dulu,” kata  Bulan dengan rasa kecewa. 
            Perlahan Bulan mengendarai sepeda motor vario  maticnya menyusuri jalan menuju pulang ke rumahnya  Pemandangan alam  yang indah membuatnya begitu betah tinggal di kota ini. Sejauh mata memandang terhampar perkebunan kelapa sawit yang  luas di kelilingi oleh pegunungan. Udara pegunungan  yang sejuk membuat orang ingin berlama –lama berada di sana.  Beberapa orang  tampak sedang bekerja membersihkan tanaman kelapa sawit dari rumput liar yang mengganggu pertumbuhannya. Seorang anak lelaki separoh baya  mengambil rumput itu  untuk makanan ternak sapi peliharaannya. Tampak sekali anak itu begitu rajin dan telaten merawat hewan peliharaanya karena hewan itu begitu gemuk dan bulunya tampak begitu  bersih mengkilat terkena cahaya matahari yang menembus disela-sela dedaunan.
Keadaan jalan yang cukup sepi membuat Bulan bisa menikmati pemandangan itu sambil mengendarai sepeda motornya. Hingga tak terasa dia sudah sampai di halaman rumahnya. Belum lagi pintu rumah diketuk, ibunya sudah membuka pintu sambil tersenyum lebar. Bulan merasa sedikit heran, karena tidak seperti biasanya ibunya bertingkah seperti itu.
            “Bulan, kamu mimpi apa tadi malam?” Kata ibunya penuh teka-teki.
            “Ah, rasanya tidak mimpi apa-apa Bu,” kata Bulan mencoba berbohong.
“Bulan cepat  masuk. Coba lihat siapa yang duduk di ruang tamu itu?”  kata ibunya.
            Bulan melangkahkan kakinya memasuki rumah. Dia sangat terkejut, ketika melihat siapa lelaki yang duduk di ruang tamu itu. Lelaki itu dia, Mas Agus, orang yang selama ini menghilang tidak ada kabar beritanya hingga membuat dia putus asa.
Bulan  terpana berdiri terpaku. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia menjadi serba salah. Orang yang selama dia cintai kini ternyata ada di depan matanya. Hati berkecamuk tak menentu. Tapi, bagaimana perasaan cintanya kepada Bintang ? Harus dia akui,  bahwa Bintang adalah sosok lelaki yang  menarik  dan memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan Mas Agus. Bintang adalah seorang yang romantis dan pandai menyenangkan hati wanita, sedangkan Mas Agus seorang  yang sangat kaku dan tanpa basa-basi dalam berbicara. 
                        “Bulan, kenapa diam saja?” Kata ibunya.
            Bulan baru sadar. Perlahan dia mendekat sambil tersenyum tawar.
                        “Mas Agus, kapan datang?”
                        “Baru saja. Maaf, aku datang tidak memberi kabar lebih dahulu.
“Mas, kenapa selama ini tidak pernah memberi kabar kepadaku? Terus terang selama ini aku menunggu kabar dari Mas dengan perasaan yang tak menentu. Begitu sibuknyakah Mas hingga tak sempat memberi kabar walau cuma lewat sms?” kata Bulan dengan suara bergetar.   
“Bulan kuakui aku memang salah.  Aku terlalu sibuk dengan tugas-tugasku sehingga sampai lupa memberi kabar kepadamu,” kata Mas Agus mencoba untuk menjelaskan.
“Bulan, aku punya kejutan untukmu,” kata Mas Agus sambil mengambil kotak kecil berwarna merah  dari balik jaket lorengnya lalu menyerahkannya kepada Bulan.
               Walau   sedikit ragu, Bulan  menerimanya juga. Dia merasa ada firasat buruk. Matanya menatap tajam tajam kotak kecil itu penuh tanda tanya. Jantungnya berdetak kencang.  Badannya berkeringat dingin dan nafasnyapun sedikit tersengal. Perlahan kotak kecil itu lalu dibukanya. Betapa terkejut hatinya ketika melihat isi kotak kecil itu, ternyata sebuah cincin. Cincin emas sebagai tanda bahwa Mas Agus ingin melamarnya. Tiba tiba Bulan  merasa bumi seperti   berputar, matanya berkunang-kunang, dan dadanya merasa sakit tak bisa bernafas. Akhirnya semua menjadi gelap. Bulan tak ingat apa-apa lagi.
 
***
            Sudah tiga hari  Bulan terbaring tak sadarkan diri di kamar nomor 7 Rumah Sakit Haji .Boejasin.  Dokter spesialis jantung di rumah sakit itu menyatakan Bulan mengalami serangan jantung yang serius sehingga perlu mendapatkan perawatan yang serius pula. Ibu Bulan tak kuasa menahan sedih, karena Bulan adalah anak semata wayangnya. Ayah Bulan yang sudah lama meninggal dunia juga  karena penyakit yang sama akibat serangan jantung. Dia tak kuasa membayangkan jika anak semata wayang yang  sangat disayangnya itu juga harus pergi meninggalkan dirinya. Bagi dia, Bulan adalah harapan satu-satunya dalam hidupnya.
            Bintang   yang selama tiga hari ini selalu setia menunggu  Bulan di rumah sakit   tak bisa menyembunyikan rasa sedihnya. Baginya, Bulan adalah cinta pertama dalam hidupnya. Cinta yang tumbuh dan bersemi di dalam hatinya.
“Nak Bintang, ini  titipan surat dan sebuah kotak kecik warna merah  berisi cincin, ” kata Ibu Bulan sambil berdiri menyerahkan surat itu kepada Bintang.
                        “Surat dan  kotak cincin  siapa, Bu?” Kata Bintang merasa heran.
 “Surat dari Mas Agus. Silakan baca  Nak! Nanti Nak  Bintang akan tahu isinya,” kata Ibu Bintang dengan penuh kesungguhan.              
            Bintang membaca surat itu dengan penuh perhatian. Ternyata surat itu berisi permintaan Mas Agus untuk menjaga  dan melindungi Bulan. Rupanya Mas Agus sadar bahwa selama ini Bulan telah menemukan lelaki idamannya. Untuk itu dia rela melepaskan Bulan.  Dengan perasaan haru Bintang menatap Bulan. Dielusnya lembut tangan Bulan dengan sepenuh perasaan. Dia bersumpah akan selalu menjaga dan mencintai Bulan selama hidupnya.
            Malam itu langit  begitu cerah. Di langit Bulan purnama begitu indah. Cahyanya menerangi alam semesta. Jutaan  bintang bertaburan menghias angkasa raya. Bintang menatap langit  dari balik jendela kamar.  Dan dengan suara lirih dia berkata:
“Bulan, mimpi terindahku adalah ingin hidup berdampingan denganmu. Andaikan impian itu kan terwujud sudikah engkau berlayar mengarungi samudera luas bersamaku? Bersamamu aku yakin bisa mengtarungi gelombang yang ganas. Bersamamu aku kuasa menantang badai. Menuju pantai harapan nan luas. Hingga engkau lihat betapa indahnya malam berhiaskan bintang-bintang mengelilingi rembulan di cakrawala



Tamat
                                                           




                                   
BULAN TERTUTUP AWAN
(Karya: Alfian Ripani, S.Pd)
Rembulan terpikat tersipu malu. Ketika bintang datang mendekat. Ada rasa mengalir hangat. Dalam relung hati  sukma berhasrat. Melayang angan  terbang ke langit lepas. Menembus cakrawala luas terlihat tak berbatas.
Kini, jelas sudah bagi Bintang  apa yang selama ini menyebabkan Bulan menjadi  malu dan salah tingkah. Rupanya mimpi itu. Ya, mimpi itu  begitu membekas dalam dirinya hingga tak  pupus dari ingatan. Tak kuasa  dia memendam mimpi-mimpi itu hingga akhirnya dia tumpahkan mimpi itu   pada Bintang, lelaki  yang selama ini diam-diam  dipujanya, walaupun dengan muka  sedikit  memerah  menahan  rasa malu. Satu sikap yang perlu keberanian luar biasa bagi seorang perempuan untuk menceritakan sebuah mimpi indahnya   kepada seorang lelaki yang diam-diam dipujanya.
“Ah, peduli amat! Bukankah di abad ke-21 ini tidak ada lagi perbedaan antara laki-laki dan perempuan? Bukankah dulu Siti Zulaiha juga menyatakan rasa cintanya kepada Nabi Yusuf juga secara terang-terangan? Dan bukankah pada akhirnya Siti Zulaiha berhasil meraih cinta Nabi Yusuf walaupun sebelunya harus melalui kejadian yang memalukan?”   Guman Bulan di dalam hati.
            Memang, sejak mengenal Bintang  setahun yang lalu Bulan merasakan   ada sesuatu yang menarik dan menjadi magnet dalam diri lelaki itu hingga mampu menghipnotis dirinya. Seorang  lelaki ganteng, ramah,  murah senyum, dan enak diajak bicara. Dan yang terpenting perhatiannya selama ini memberi nilai plus bagi Bulan. Pendek kata, menurut Bulan, Bintang adalah sosok lelaki yang sempurna dan menjadi idamannya. Lelaki yang selama ini mampu memelintir hatinya sekailgus mengisi  kekosongan hatinya hingga membuat dia bertekuk lutut tak berdaya.
            Perlahan Bulan mengangkat mukanya. Sambil menarik napas panjang dia lalu bercerita.
“Mas, tadi malam aku bermimpi bertemu denganmu,” kata Bulan perlahan.
Bintang mendengarkan Bulan bercerita dengan penuh perhatian. Dia tidak ingin memotong cerita Bulan. Tatapan  matanya yang lembut dan senyumnya yang menawan menambah kekuatan  bagi Bulan  untuk melanjutkan ceritanya.
“Mimpi itu begitu  indah. Kau mencumbuku begitu mesra hingga sekujur tubuhku menggigil menahan gejolak jiwa. Semua terasa begitu nyata hingga aku tak bisa melupakannya.” kata Bulan degan suara serak dan lirih.
 Sesaat keadaan menjadi hening. Bulan tertunduk tak kuasa menatap Bintang. Dia merasa  sangat gelisah menunggu reaksi dari Bintang. Tapi, keadaan  berubah ketika Bintang berkata;
“Bulan, mengapa kita mengalami mimpi yang sama? Aku juga mengalami mimpi indah seperti yang engkau alami, ” kata Bintang.
“Aku yakin, ini suatu pertanda   bahwa kita akan dipersatukan dalam ikatan cinta yang suci dan abadi,” kata Bintang lagi sambil meraih dan mengelus lembut tangan Bulan.
Bulan  diam tersipu malu. Ada rasa hangat mengalir di tubuhnya. Ada rasa damai mengalir dalam dadanya
“Bulan, mimpi adalah lukisan hati yang terdalam. Melukiskan keadaan hati yang sebenarnya. Bila mimpi itu menjadi nyata sudikah engkau  hidup bersamaku untuk selamanya?” Kata Bintang dengan suara bergetar penuh perasaan.
            Ingin rasanya Bulan melonjak-lonjak sambil berteriak karena girang   mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Bintang. Untung saja dia masih bisa menahan diri. Kata-kata itu bagaikan melodi cinta yang sangat merdu. Sanggup membuai dan mencumbu sukma yang selama ini mendambakan  akan cinta. Cinta seorang Bintang.
            Tak kuasa Bulan untuk berkata. Kedua bibirnya bergetar. Kedua bola matanya yang indah berkaca-kaca. Bulu matanya yang lentik sedikit basah kena air mata. Air mata bahagia.
            Bintang meraih pundak bulan. Lembut perlahan dielusnya pundak itu dan  Bulan pun semakin terbenam dalam pelukan  Bintang.
***
            Kriiiiing…………..kriiiing…………kriiiing, suara jam beker  nyaring mengejutkan sekaligus membangunkan Bulan dari tidurnya. Astaga …! Rupanya tadi aku sedang bermimpi, kata Bulan membatin. Perlahan diraihnya jam beker itu kemudian  mematikannya. Di lihatnya hari sudah pukul 06.00 Wita. Perlahan dia bangun dari tempat tidurnya menuju lemari kecil yang terletak di sudut kamarnya. Di atas lemari itu terletak foto Mas Agus, kekasihnya.
            Ditatapnya foto Mas Agus dengan perasaan galau. Sudah  hampir tujuh bulan  ini Mas Agus tidak pernah lagi memberi kabar lewat surat atau telpon. Baginya kabar itu sangat penting untuk membuktikan apakah dia masih setia dan sayang kepadanya.
Dua  tahun yang lalu Mas Agus pergi  bertugas ke daerah konflik di Aceh. Di sana, situasi keamanan  tiada menentu  sulit ditebak. Gerombolan pengacau keamanan bisa datang mengacau kapan saja tak kenal waktu. Banyak gedung sekolah dibakar hingga anak-anak tidak bisa sekolah sementara guru-guru pun juga merasa takut untuk mengajar sehingga pendidikan jadi terabaikan. Tidak sedikit tentara yang menjadi korban ditembak para gerombolan sampai tewas. Membayangkan hal seperti itu Bulan merasa  gelisah tetaapi kemudian pikirkan itu cepat ditepisnya jauh-jauh.
“Mas Agus, mengapa Mas tidak menyempatkan diri memberi kabar walau cuma lewat sms saja? Apakah Mas memang sudah melupakan aku karena sudah terpikat dengan gadis di sana?” Kata Bulan  membatin dengan hati yang risau.
“Salahkah aku bila berpaling pada laki-laki lain? Maafkan aku Mas, aku sudah letih menanti kepastian kabar darimu.” Kata Bulan lagi sambil menatap lekat foto Mas Agus.

***
            Setelah sarapan pagi, bergegas Bulan  pergi ke sekolah agar tidak terlambat. Dia bekerja pada salah satu Sekolah Menengah Pertama di kota Pelaihari. Dia dipercaya mengajar sebagai guru Bahasa Indonesia. Dia tidak mau kejadian seperti minggu yang lalu terulang lagi. Saat itu dia sempat dipanggil  kepala sekolah dan diingatkan agar datang ke sekolah tidak terlambat lagi.
            Akhirnya Bulan tiba di sekolah tepat pada waktunya. Perlahan sepeda motor vario maticnya menuju tempat parkir. Tapi, sial! Tempat parkir itu sudah penuh hingga dia  tidak bisa untuk parkir ditempat itu.
“Mari saya bantu memarkirnya,” kata Bintang datang dengan tiba-tiba hingga membuat Bulan jadi terkejut dan hatinya jadi  berdebar kencang.
                        “Eh-eh,” kata Bulan gagap  tak bisa berkata.
“Ah, lelaki ini yang selalu hadir menghias mimpiku hingga membuat hidupku penuh semangat,” kata Bulan dalam hati.
Dengan sigapnya Bintang mencari celah untuk memarkir sepeda motor Bulan hingga bisa  parkir di tempat yang aman.
“Terima kasih Bintang,” kata Bulan sambil tersenyum hingga terlihat jelas  kedua lesung pipitnya yang dalam manis menghias kedua pipinya.
            Bergegas Bulan pergi hendak masuk kelas, tapi langkahnya tersendat, ketika Bintang memanggilnya.
                        “Bu Bulan, tunggu sebentar. Ini ada surat untukmu,” kata Bintang.
                        “Surat? Surat dari siapa?” Kata Bulan.
“Surat dari aku untuk Bu Bulan,” Kata Bintang mantap sambil menunjuk dirinya sendiri.
            Dengan hati berdebar surat itu diterimanya. Sebuah surat dengan amplop warna merah jambu dihiasi  ornamen  bunga mawar yang mulai merekah.
“Terima kasih.” Kata Bulan singkat sambil meneruskan langkahnya memamasuki kelas.
            Di dalam kelas Bulan tidak bisa konsentrasi mengajar anak-anak. Pikirannya hanya tertuju pada surat warna merah jambu dari Bintang. Dia ingin cepat membacanya, agar tahu apa isi surat itu. Akhirnya dia putuskan memberikan tugas  kepada anak-anak  dengan membagikan lembaran LKS.
 Dengan hati-hati Bulan membuka surat itu, kemudian membacanya. Dia sangat gembira dan terharu. Rupanya surat itu berisi  ungkapan perasaan cinta Bintang yang begitu dalam  tulus kepadanya. Betapa bahagia Bulan   karena impiannya jadi kenyataan. Dia membayangkan betapa indahnya merenda hari-hari bersama Bintang. Salah satu bagian  surat berbunyi:
Bulan…, mimpi terindahku adalah  ingin hidup  berdampingan denganmu. Andai impian itu  kan terwujud, sudikah engkau berlayar mengarungi luasnya samudera bersamaku? Bersamamu  kuyakin bisa  menentang gelombang yang ganas. Bersamamu kuyakin kuasa menentang  badai dasyat. Menuju pantai harapan nan luas.  Hingga engkau lihat betapa indahnya malam berhiaskan bintang-bintang mengelilingi indahnya rembulan di cakrawala sana.

***
            Pukul 13. 00 Wita bel sekolah berbunyi 6 kali pertanda pulang. Anak – anak bersorak gembira. Mereka berlari berhamburan  keluar kelas ingin segera cepat pulang. Beberapa guru juga sudah bersiap untuk pulang. Bulan  melangkah dengan raut muka cerah sumringah menuju tempat parkir. Matanya menatap kesana-kemari  seolah ada yang dicari. Ya, dia memang sedang mencari seseorang, seorang Bintang, tapi rupanya Bintang sudah lebih dulu.
“Ah, rupanya dia sudah pulang lebih dulu,” kata  Bulan dengan rasa kecewa. 
            Perlahan Bulan mengendarai sepeda motor vario  maticnya menyusuri jalan menuju pulang ke rumahnya  Pemandangan alam  yang indah membuatnya begitu betah tinggal di kota ini. Sejauh mata memandang terhampar perkebunan kelapa sawit yang  luas di kelilingi oleh pegunungan. Udara pegunungan  yang sejuk membuat orang ingin berlama –lama berada di sana.  Beberapa orang  tampak sedang bekerja membersihkan tanaman kelapa sawit dari rumput liar yang mengganggu pertumbuhannya. Seorang anak lelaki separoh baya  mengambil rumput itu  untuk makanan ternak sapi peliharaannya. Tampak sekali anak itu begitu rajin dan telaten merawat hewan peliharaanya karena hewan itu begitu gemuk dan bulunya tampak begitu  bersih mengkilat terkena cahaya matahari yang menembus disela-sela dedaunan.
Keadaan jalan yang cukup sepi membuat Bulan bisa menikmati pemandangan itu sambil mengendarai sepeda motornya. Hingga tak terasa dia sudah sampai di halaman rumahnya. Belum lagi pintu rumah diketuk, ibunya sudah membuka pintu sambil tersenyum lebar. Bulan merasa sedikit heran, karena tidak seperti biasanya ibunya bertingkah seperti itu.
            “Bulan, kamu mimpi apa tadi malam?” Kata ibunya penuh teka-teki.
            “Ah, rasanya tidak mimpi apa-apa Bu,” kata Bulan mencoba berbohong.
“Bulan cepat  masuk. Coba lihat siapa yang duduk di ruang tamu itu?”  kata ibunya.
            Bulan melangkahkan kakinya memasuki rumah. Dia sangat terkejut, ketika melihat siapa lelaki yang duduk di ruang tamu itu. Lelaki itu dia, Mas Agus, orang yang selama ini menghilang tidak ada kabar beritanya hingga membuat dia putus asa.
Bulan  terpana berdiri terpaku. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia menjadi serba salah. Orang yang selama dia cintai kini ternyata ada di depan matanya. Hati berkecamuk tak menentu. Tapi, bagaimana perasaan cintanya kepada Bintang ? Harus dia akui,  bahwa Bintang adalah sosok lelaki yang  menarik  dan memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan Mas Agus. Bintang adalah seorang yang romantis dan pandai menyenangkan hati wanita, sedangkan Mas Agus seorang  yang sangat kaku dan tanpa basa-basi dalam berbicara. 
                        “Bulan, kenapa diam saja?” Kata ibunya.
            Bulan baru sadar. Perlahan dia mendekat sambil tersenyum tawar.
                        “Mas Agus, kapan datang?”
                        “Baru saja. Maaf, aku datang tidak memberi kabar lebih dahulu.
“Mas, kenapa selama ini tidak pernah memberi kabar kepadaku? Terus terang selama ini aku menunggu kabar dari Mas dengan perasaan yang tak menentu. Begitu sibuknyakah Mas hingga tak sempat memberi kabar walau cuma lewat sms?” kata Bulan dengan suara bergetar.   
“Bulan kuakui aku memang salah.  Aku terlalu sibuk dengan tugas-tugasku sehingga sampai lupa memberi kabar kepadamu,” kata Mas Agus mencoba untuk menjelaskan.
“Bulan, aku punya kejutan untukmu,” kata Mas Agus sambil mengambil kotak kecil berwarna merah  dari balik jaket lorengnya lalu menyerahkannya kepada Bulan.
               Walau   sedikit ragu, Bulan  menerimanya juga. Dia merasa ada firasat buruk. Matanya menatap tajam tajam kotak kecil itu penuh tanda tanya. Jantungnya berdetak kencang.  Badannya berkeringat dingin dan nafasnyapun sedikit tersengal. Perlahan kotak kecil itu lalu dibukanya. Betapa terkejut hatinya ketika melihat isi kotak kecil itu, ternyata sebuah cincin. Cincin emas sebagai tanda bahwa Mas Agus ingin melamarnya. Tiba tiba Bulan  merasa bumi seperti   berputar, matanya berkunang-kunang, dan dadanya merasa sakit tak bisa bernafas. Akhirnya semua menjadi gelap. Bulan tak ingat apa-apa lagi.
 
***
            Sudah tiga hari  Bulan terbaring tak sadarkan diri di kamar nomor 7 Rumah Sakit Haji .Boejasin.  Dokter spesialis jantung di rumah sakit itu menyatakan Bulan mengalami serangan jantung yang serius sehingga perlu mendapatkan perawatan yang serius pula. Ibu Bulan tak kuasa menahan sedih, karena Bulan adalah anak semata wayangnya. Ayah Bulan yang sudah lama meninggal dunia juga  karena penyakit yang sama akibat serangan jantung. Dia tak kuasa membayangkan jika anak semata wayang yang  sangat disayangnya itu juga harus pergi meninggalkan dirinya. Bagi dia, Bulan adalah harapan satu-satunya dalam hidupnya.
            Bintang   yang selama tiga hari ini selalu setia menunggu  Bulan di rumah sakit   tak bisa menyembunyikan rasa sedihnya. Baginya, Bulan adalah cinta pertama dalam hidupnya. Cinta yang tumbuh dan bersemi di dalam hatinya.
“Nak Bintang, ini  titipan surat dan sebuah kotak kecik warna merah  berisi cincin, ” kata Ibu Bulan sambil berdiri menyerahkan surat itu kepada Bintang.
                        “Surat dan  kotak cincin  siapa, Bu?” Kata Bintang merasa heran.
 “Surat dari Mas Agus. Silakan baca  Nak! Nanti Nak  Bintang akan tahu isinya,” kata Ibu Bintang dengan penuh kesungguhan.              
            Bintang membaca surat itu dengan penuh perhatian. Ternyata surat itu berisi permintaan Mas Agus untuk menjaga  dan melindungi Bulan. Rupanya Mas Agus sadar bahwa selama ini Bulan telah menemukan lelaki idamannya. Untuk itu dia rela melepaskan Bulan.  Dengan perasaan haru Bintang menatap Bulan. Dielusnya lembut tangan Bulan dengan sepenuh perasaan. Dia bersumpah akan selalu menjaga dan mencintai Bulan selama hidupnya.
            Malam itu langit  begitu cerah. Di langit Bulan purnama begitu indah. Cahyanya menerangi alam semesta. Jutaan  bintang bertaburan menghias angkasa raya. Bintang menatap langit  dari balik jendela kamar.  Dan dengan suara lirih dia berkata:
“Bulan, mimpi terindahku adalah ingin hidup berdampingan denganmu. Andaikan impian itu kan terwujud sudikah engkau berlayar mengarungi samudera luas bersamaku? Bersamamu aku yakin bisa mengtarungi gelombang yang ganas. Bersamamu aku kuasa menantang badai. Menuju pantai harapan nan luas. Hingga engkau lihat betapa indahnya malam berhiaskan bintang-bintang mengelilingi rembulan di cakrawala



Tamat