Sabtu, 20 September 2014

 MANIS DAGINGAN
                                     KARYA:  ALFIAN RIPANI, S.Pd.

Ini sudah  yang ketiga kalinya Masri berteriak. Berteriak histeris   memanggil sebuah nama. Galuh…Galuh … Galuh …. Hanya nama itu yang dia teriakkan sambil  berlari memasuki hutan lebat di belakang rumahnya. Warga  di kampungnya hanya bisa mengurut dada dan menatap iba melihat keadaannya.
Sejak ditinggal Galuh, Masri seperti tak terurus. Wajahnya yang kuyu tampak pucat pasi. Matanya  sembab kelihatan  begitu cekung. Kedua bola matanya redup  kehilangan gairah hidup seperti tak bisa memaknai arti hidup. Dari mulutnya terdengar suara  serak memanggil nama Galuh. Hanya nama itu yang selalu keluar dari kedua bibirnya yang bergetar. Seperti getar hatinya yang galau memikirkan Galuh orang yang sangat dicintainya.
Kedua orang tua Masri begitu cemas memikirkan nasib anaknya. Berbagai upaya telah dilakukan agar anaknya bisa disembuhkan. Mulai dari cara  medis sampai dengan cara non medis, tetapi usaha itu belum membuahkan hasil. Nampaknya,  anaknya masih belum bisa melupakan Galuh. Dia sangat mencintai Galuh.
Memang sejak mengenal Galuh sikap anaknya menjadi banyak berubah. Dia semakin rajin dan disiplin dalam bekerja. Perhatiannya terhadap orangtuanya pun semakin bertambah. Rupanya rasa cintanya kepada Galuh memberikan pengaruh yang positif dalam kehidupan anaknya. Tetapi karena cintanya yang terlalu mendalam ini pula yang membuat anaknya menjadi merana ketika  ditinggal pergi oleh orang yang dicintainya. Sampai detik ini dia tidak bisa melupakan Galuh.
Seharian  berada di hutan membuat kedua orang tua Masri menjadi gelisah. Mereka menyusul ke hutan  membujuk anaknya agar mau pulang ke rumah.
“Nak…, pulanglah ke rumah. Hari sudah menjelang magrib. Sebentar lagi suara azan berkumandang.Tak baik berada di hutan.” kata ibunya dengan suara yang memelas.
“Ibu...,aku ingin Galuh kembali kepadaku. Aku tak kuasa hidup tanpa dia.” kata Masri dengan suara  serak yang menghiba.
“Nak…, sadarlah. Galuh telah meninggal dunia. Kamu harus ikhlas melepas kepergiannya karena itu sudah takdir Yang Maha Kuasa.” kata ibunya mencoba menyadarkan Masri.
“Tapi, aku sangat mencintainya, Bu !” kata Masri sambil mengusap kedua pipinya yang basah oleh air mata.
“Nak, relakanlah kepergiannya. Orang yang sudah meninggal tak mungkin hidup kembali. Relakanlah dia pergi agar arwahnya tenang di alam baqa.”kata ibunya kembali ingin menyadarkan anaknya.
Masri jadi terdiam. Tiba-tiba tubuhnya menjadi kaku lalu terjatuh kemudian terkulai lemah. Perlahan kedua orangtuanya  memapahnya  membawa pulang ke rumah.
***
Tak tega rasanya hati Fatimah melihat derita Masri. Pernah sekali waktu dia   mencoba menghibur  dan membujuk  Masri agar bisa  melupakan Galuh. Tapi, usahanya gagal karena Masri hanya diam membisu. Diam dalam seribu bahasa.
Masih segar dalam ingatan Fatimah, dua bulan yang lalu, Masri begitu bahagia dan bersemangat dalam meniti hidup. Rencana pernikahannya dengan Galuh  begitu matang. Lima belas hari sesudah Idhul Fitri akan digelar pesta pernikahan  sekaligus  pesta perkawinannya dengan Galuh. Kartu undangan  sudah dicetak, siap untuk dibagikan. Pakaian pengantin pun sudah disiapkan. Tapi, apa mau dikata semua rencana itu hancur berantakan. Galuh, gadis yang cintainya ternyata telah pergi. Pergi jauh tak akan pernah kembali. Pergi jauh untuk selamanya menghadap illahi. Memang semua tak perlu terlalu disesali. Semua sudah terjadi dan menjadi  takdir illahi. Tapi, sebagai manusia biasa terkadang   ada juga rasa sesal menyusup ke relung hati. Sebelum semuanya sadar bahwa itu semata adalah  rahasia illahi.
Jauh sebelumnya, setengah bulan yang lalu Fatimah sudah mengingatkan Masri dan Galuh agar  menjelang pernikahannya nanti  keduanya bisa menahan diri agar tidak bepergian, berdiam diri di rumah saja. Tapi, Masri dan Galuh menjawabnya  hanya dengan  senyuman. Sebuah jawaban yang sulit untuk diterjemahkan olehnya.
Sebagai sahabat masa kecilnya, Fatimah ingin agar Masri bisa hidup berbahagia mempersunting Galuh sebagai isterinya. Dia tidak ingin terjadi sesuatu menimpa kedua calon pengantin itu. Bagi Fatimah petuah orang tua-tua dulu harus tetap dipatuhi karena itu sudah menjadi tradisi dan kepercayaan masyarakat di kampungnya.
Orang tua dulu selalu memberi petuah kepada calon pengantin  agar tidak  bepergian atau keluar dari rumah (dipingit) khususnya kepada pihak perempuannya. Menurut orangtua duhulu calon pengantin mudah sekali tertimpa musibah atau celaka yang bisa menggagalkan rencana perkawinanannya yang dalam istilah mereka disebut Manis Dagingan.
Menurut cerita mereka, pada zaman dahulu ada sepasang muda-mudi   yang mau menikah. Menjelang hari pernikahan dan pesta perkawinannya, calon pengantin itu pergi keluar rumah untuk  mencuci pakaian ke sebuah danau. Danau  itu letaknya tidak begitu jauh dari rumahnya.
Danau itu selain untuk kegiatan mencuci pakaian juga jadikan oleh warga sebagai tempat berusaha menangkap ikan. Warga di kampung itu menangkap ikan biasanya  menggunakan jala. Ikan-ikan di danau itu memang sangat banyak diantaranya yaitu  ikan gabus, lele, baung, lais, dan udang. Hasil tangkapan itu lalu mereka jual untuk memenuhi kebutuhan keluarganya
 Kegiatan mencuci pakaian memang sudah menjadi kegiatan  sehari-hari perempuan itu. Sambil bersenandung kecil dia berjalan menyusuri  jalan setapak membawa keranjang rotan berisi pakaian yang akan dicuci. Tampa ada firasat buruk dia terus berjalan  menyusuri jalan setapak itu. Kakinya yang jenjang  begitu lincah melangkah menyusuri jalan itu.  Dia hafal betul setiap jengkal jalan setapak itu. Di kanan-kiri jalan  itu banyak tumbuh pohon-pohon  dan semak belukar yang begitu lebat. Sesekali terdengar bunyi kicauan burung murai yang begitu merdu. Di ujung jalan setapak itu sebelum berbelok ke kanan menuju danau tumbuh sebatang pohon manggis yang sangat tinggi. Pohon manggis itu buahnya sangat lebat dan rasa buahnya sangat manis. Dia sering memungut buah manggis yang jatuh dari pohonnya untuk dibawa pulang ke rumah. Tak terasa sampailah perempuan itu ditepi  danau. Tapi, tak seperti biasanya danau itu kali ini kelihatan begitu  sepi. Biasanya di danau itu paling tidak ada empat sampai lima orang yang sedang mencuci pakaian. Tetapi kali ini hanya ada seorang lelaki setengah tua  memakai caping sambil mengayuh sampan di tengah danau. Lelaki itu orang yang sangat dikenalnya. Dia sedang menebar jala untuk  menangkap ikan.  
 Sambil melambaikan tangannya kepada lelaki setengah tua itu, perempuan itu  lalu berjalan menuju tempat mencuci  di bawah pohon yang rindang. Pohon itu  berada persis di tepi danau sehingga sangat nyaman dijadikan sebagai tempat untuk mencuci pakaian.
Perempuan itu lalu  mengeluarkan pakaian yang kotor  dari  dalam keranjang rotan. Dia tanpak begitu ceria. Kedua tangannya begitu cekatan menyikat pakaian. Sambil bersenandung kecil perempuan itu membayangkan betapa bahagianya  saat hari pernikahannya nanti. Sesekali dia tersenyum sendiri sehingga tanpak lesung pipit di kedua belah pipinya. Kedua kakinya yang jenjang dimasukkannya kedalam air danau yang bening dan dingin.
Perempuan itu begitu asyik mencuci pakaian. Kedua tangannya menyikat, mengucak, memeras, dan membilas pakaian hingga tidak terasa semua pakaian pun habis semuanya dicuci.
Setelah semua pakaian dicuci habis, perempuan itu lalu menceburkan dirinya ke danau untuk mandi. Air kolam yang bening dan dingin terasa sampai keseluruh tubuhnya. Sambil menggosok-gosok tubuhnya dengan sabun, perempuan itu tidak menyadari ada seekor buaya yang sangat besar datang mendekat. Kedua mata buaya itu berkilat mencorong ganas. Kedua rahangnya membuka sehingga kelihatan gigi-giginya yang tajam seperti belati. Ekornya yang panjang bergerigi seperti gergaji. Tiba-tiba buaya itu menyambar tubuh perempuan itu. Perempuan itu menjerit nyaring meminta tolong.
“Tolong…tolong…tolong!”
Perempuan itu meronta-ronta  mencoba melepaskan diri dari gigitan buaya itu. Tapi gigitan buaya itu sangat kuat. Kedua rahangnya yang kokoh menjepit sangat kuat. Tubuh perempuan yang malang itu dihempaskan buaya itu ke kiri dan ke kanan sehingga menimbulkan percikan dan gelombang serta  bunyi yang dahsyat. Semakin kuat perempuan itu meronta, semakin kuat pula buaya itu menggigitnya. Akhir perempuan itu tidak bisa meronta lagi. Tubuh perempuan itupun tenggelam kedasar danau diseret oleh buaya itu.
Sementara itu dari jauh tampak lelaki setengah tua itu mencoba datang mendekat. Rupanya suara jeritan meminta tolong dari perempuan itu sempat terdengar ditelinganya. Dengan cepat lelaki itu mendayung sampannya. Tetapi, lelaki itu  terlambat datang untuk menolong. Perempuan itu sudah  lenyap bersama riak-riak air di danau itu.Yang ditemuinya hanya sepotong kain sarung berwarna loreng yang sudah tercabik-cabik dan air danau  yang memerah bekas darah perempuan itu.
Kabar tentang perempuan yang lenyap dimakan buaya itu dengan cepat tersebar keseluruh warga di kampung itu. Orang-orang kampung berdatangan untuk membuktikan kebenaran kabar tersebut. Mereka seolah tidak percaya karena selama ini mereka tidak pernah melihat ada seekor buaya pun di danau itu. Jadi, sungguh sangat mengherankan jika tersiar kabar ada seekor buaya yang memangsa manusia.Tetapi setelah mereka mendatangi danau itu semua jadi terhenyak. Mata mereka jadi terbelalak. Mereka melihat air danau yang masih memerah bekas darah. Di tengah danau terlihat sisa potongan  kain sarung yang tercabik-cabik. Tanpa dikomando mereka  segera mencari  jasad perempuan itu, tetapi usaha mereka tidak membuahkan hasil. Jasad perempuan itu hilang  bersama lenyapnya  buaya itu.
Cerita tentang perempuan yang tewas dimakan buaya menjelang perkawinannya itu begitu membekas di hati warga di kampung itu. Mereka percaya bahwa setiap orang yang akan menikah itu  manis dagingan. Mereka berkeyakinan bahwa orang yang akan menikah harus berdiam di rumah saja tidak boleh bekerja ke luar rumah, jika pantangan itu dilanggar maka akan terjadi malapetaka menimpa orang tersebut.
***
            Awal perkenalan Masri dengan Galuh bermula ketika dia baru bertugas jadi seorang guru sekolah dasar di sebuah desa. Saat itu dia mengantar anak tetangganya pergi mengaji di sebuah TK Alquran. Di sana dia melihat seorang gadis manis berbusana muslim. Jubahnya berwarna putih. Sehelai jilbab berwarna merah jambu membalut wajahnya yang oval. Sebuah perpaduan warna yang tampak serasi di tubuh gadis itu.
 Gadis itu sedang mengajarkan anak-anak mengaji  menghafalkan ayat-ayat pendek  Alquran. Lantunan suaranya begitu merdu dalam membaca ayat-ayat Alquran sehingga membuat orang menjadi betah mendengarnya berlama-lama. Masri tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia ingin berkenalan dengan gadis itu. Sambil menuntun anak  itu, dia mengetuk pintu kelas  lalu mengucapkan salam
            “Assalamualaikum.”                                                                                   
            “Waalaikum salam.” jawab gadis itu sambil tersenyum hingga tampak  deretan giginya yang putih rapi dengan   kedua lesung pipit menghias pipinya  sehingga semakin menambah kecantikannya. Sejenak Masri terkesima. Dia terpesona melihat kecantikan gadis itu.
“Maaf Bu, saya terlambat mengantar anak ini masuk kelas.” kata Masri dengan sedikit gagap.
“Ah, tidak apa-apa  Pak.” jawab gadis tersebut singkat.
“Jangan panggil saya Pak,  panggil saya Masri. Saya guru baru di desa ini.” kata Masri mencoba mengenalkan diri.
“Oh…, saya Galuh. Minggu yang  lalu saya  mendengar kabar dari Pak Kades bahwa di desa kami  kedatangan seorang guru baru yang mengajar di sekolah dasar. Selamat datang di desa kami! Semoga  Bapak Masri betah tinggal di sini.”  kata gadis itu sambil tersenyum ramah.
***
Sejak perkenalannya dengan Galuh, Masri jadi sering berkunjung ke rumah Galuh. Seminggu sekali Masri datang  ke rumah Galuh. Dari sini, Masri mulai mengenal keluarga Galuh. Ternyata Galuh berasal dari keluarga yang sederhana dan bersahaja. Galuh ternyata anak semata wayang. Ibunya  meninggal dunia ketika  dia masih berusia tiga tahun. Dia dirawat dan dibesarkan oleh ayahnya. Ayah Galuh bekerja sebagai nelayan yang penghasilannya tidak menentu. Penghasilannya tergantung dari jumlah hasil tangkapan ikan yang diperolehnya.
Pernah sekali waktu ayah Galuh pulang dengan tangan hampa tanpa membawa ikan seekorpun. Ayah Galuh tentu saja sangat sedih, karena itu berarti dia harus berhutang di warung untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Untunglah pemilik warung itu mau mengutangkan barang dagangannya. Meskipun begitu, ayah Galuh kadang merasa malu juga kalau terlalu sering berhutang di warung itu. Tetapi rasa malu itu ditahannya karena semua itu dia lakukan  hanya untuk Galuh.
Sebagai anak semata wayang, Galuh menjadi tumpuan dan harapan ayahnya. Ayahnya ingin Galuh memiliki masa depan yang lebih baik, tidak seperti dirinya. Untuk itu, sampai saat ini tidak pernah terlintas dalam sedikit jua pun dalam pikirannya untuk menikah lagi. Baginya Galuh adalah segala-galanya dalam hidupnya. Dia rela melakukan apa saja demi anaknya.
Kini Galuh sudah dewasa dan menjelma menjadi seorang gadis yang cantik. Wajahnya mengingatkan dia pada wajah almarhum istrinya. Saat ini yang menjadi pikiran dan harapannya, Galuh  mendapat pendamping hidup yang penuh kasih sayang dan penuh rasa tanggung jawab terhadap anaknya.
Hari itu seperti biasanya Masri datang berkunjung ke rumah Galuh, tetapi tak seperti biasanya hatinya begitu gugup. Jantungnya berdebar-debar. Tetapi tekadnya sudah bulat. Sebulat niat hatinya untuk mengungkapkan perasaan cintanya kepada Galuh. Dia ingin mempersunting Galuh menjadi istrinya. Dia tidak mau Galuh keburu dilamar orang, karena Galuh adalah bunga desa yang menjadi idaman setiap lelaki.
Berada di depan Galuh, Masri tidak bisa berkata-kata. Tenggorakannya terasa kering. Mulutnya seperti terkunci. Dalam hatinya dia mengumpat dirinya sendiri.
 “Di mana keberanianmu? Bukankah kamu tadi bertekad berani  mengungkapkan perasaan cintamu kepada Galuh? Apakah kamu mau menjadi lelaki pengecut?”
Rupanya Galuh melihat sikap Masri tidak seperti biasanya, dia begitu kikuk. Biasanya Masri selalu bersikap tenang sambil bercerita diselingi canda dan tawa.
“Mas, ada  masalah apa? Kelihatannya Mas begitu serius?” kata Galuh mencoba memecah keheningan.
Sejenak Masri menjadi tergagap. Dia baru sadar bahwa ternyata sikapnya tadi diperhatikan oleh Galuh. Sambil menarik nafas yang dalam, dia mencoba untuk menenangkan dirinya. Hingga  akhirnya dia mulai berani berbicara.           
“Galuh…, sejak mengenalmu aku merasakan perasaan aneh yang menyusup dalam kedalam hatiku. Malam yang panjang selalu berhias mimpi-mimpi indah bersamamu. Hatiku selalu merasa gelisah bila tidak berjumpa denganmu.”
Kini Galuh yang menjadi terdiam. Kepalanya tertunduk memandangi lantai. Kedua pipinya kelihatan memerah. Kedua jarinya yang lentik memintal-mintal ujung jilbab yang dipakainya.
Melihat sikap Galuh yang kelihatan gugup, Masri menjadi lebih percaya diri. Dia memberanikan diri untuk lebih mendekat lalu diraih dan digenggamnya  tangan Galuh.  Sejenak Galuh menjadi terhenyak.
“Galuh..,sudikah kamu menerima cintaku yang tulus dengan sepenuh hatimu?”
Galuh hanya diam. Dia tidak bisa berkata-kata. Masri jadi gelisah, dia takut ada yang salah dari perkataannya sehingga membuat Galuh menjadi marah. Dia  cepat melepaskan genggaman tangannya dari Galuh.
“Maafkan, jika sikapku terlalu lancang kepadamu. Aku hanya ingin membahagiakanmu. Aku hanya ingin menjadi pedamping hidupmu. Dan aku hanya ingin mengarungi hidup bersamamu.” kata Masri penuh harap.
Sejenak Galuh kembali terdiam. Kedua bola matanya tampak berkaca-kaca. Masri jadi gelisah, dia takut cintanya ditolak.Tapi, sesaat kemudian dari kedua bibirnya keluar jawaban.
          “Mas…, sebenarnya kita memiliki perasaan yang sama. Aku juga merasakan seperti yang kamu rasakan. Sudah lama aku menunggu kepastian darimu.” kata Galuh dengan suara bergetar dan penuh kebahagian.
Tak kuasa Masri menahan kebahagiannya. Ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Berkali-kali mulutnya mengucapkan rasa syukur kepada sang Maha  Pencipta yang telah menyemaikan benih-benih   cinta antara dirinya  dan Galuh.
***
Pagi itu udara begitu sejuk. Matahari baru menampakkan sinarnya. Cahayanya memancar kuning keemas-emasan. Embun pagi tanpak membasahi rerumputan, bergelantungan  seperti butiran mutiara yang berkilau diterpa matahari pagi. Burung-burung berkicau merdu melompat-lompat dari ranting ke ranting pepohonan menambah indah suasana pagi.
Suasana indah dipagi itu juga dirasakan Masri. Sambil membersihkan sepeda motor, dari ponselnya terdengar lagu Ampat Si Ampat Lima yang merupakan lagu Banjar kesayangannya.
Ampat si ampat lima ading ai kuriding patah
Patah sabilah patah sabilah di higa lawang
Ampat si ampat lima ading ai kutanding sudah
Kada manyama-kada manyama nang si baju habang.
Banyak sudah nang maantar tapih
Salambar-lambar kada bakain
Banyak sudah urang nang mamilih
Juduhnya kada ka lain.
   Bagi Masri lagu itu mempunyai makna yang mendalam bagi Masri apalagi setelah lamarannya diterima oleh ayah Galuh dengan kedua belah tangan terbuka. Hatinya sungguh merasa sangat bahagia, sebab gadis yang selama ini dia idam-idamkan sebentar lagi akan menjadi istrinya. Istri yang sholeha yang akan memberikan anak-anak sebagai penerus keturunannya kelak.
Hari itu Masri dan Galuh sudah berjanji akan pergi ke kota untuk berbelanja. Dia dan Galuh sudah sepakat pergi bersama  membeli  barang-barang sebagai pelengkap dalam pernikahannya nanti. Setelah selesai mencuci sepeda motor kesayangannya, dia lalu menghidupkan sepeda motornya. Kemudian dia berangkat menuju rumah Galuh di desa seberang. Perjalanan menuju rumah Galuh cukup jauh. Jalan agak sempit dan berliku serta banyak tanjakan. Diperkirakan memerlukan waktu sekitar satu setengah jam sampai ke rumah Galuh. Tetapi jauhnya perjalanan  tidak menjadi masalah, karena rasa cintanya kepada Galuh mengalahkan segala-galanya. Tak terasa dia sampai di rumah Galuh. Di depan rumah, Galuh sudah menunggu. Setelah berpamitan dengan calon mertua, Masri pun berangkat bersama Galuh.
Sepanjang perjalanan  kedua pasangan ini begitu ceria. Gelak tawa dan canda selalu keluar dari mulut mereka. Kedua pasangan ini begitu bahagia sebab sebentar lagi mereka akan melangkah ke pelaminan menjadi suami istri. Dalam benak mereka terbayang hari-hari yang penuh kebahagian akan mereka lalui bersama.
Masri terus memacu sepeda motornya  menyusuri jalan beraspal yang sempit dan berliku. Sepanjang perjalanan pemandangan alam sungguh sangat menarik. Di sebelah kiri dan kanan jalan terbentang hamparan sawah yang sangat luas. Beberapa petani  bercaping lebar terlihat  sedang memanen padi. Dengan cekatan tangan-tangan mereka memetik tangkai-tangkai padi yang menguning dengan  menggunakan ani-ani.
Tiga tanjakan sudah  dilalui. Dari atas tanjakan  tanpak hamparan pegunungan yang mempesona. Sayangnya ada  beberapa bagian dari gunung itu yang runtuh dan berlubang karena adanya penambangan batu gunung. Beberapa buah eksavator   menggali dan meruntuhkan lereng-lereng gunung itu tanpa ampun. Mobil-mobil  truk dengan ukuran besar hilir mudik mengangkut batu-batu gunung itu.  Debu-debu beterbangan menimbulkan polusi udara. Entah sampai kapan kegiatan penambangan yang merusak lingkungan itu terus dilakukan. Disebuah tikungan jalan tajam yang menurun tiba-tiba sebuah truk meluncur berlawanan arah dengan kecepatan tinggi. Masri menjadi sangat terkejut dan gugup kemudian kehilangan keseimbangan. Dan tanpa dapat dihindarkan lagi terjadi tabrakan yang sangat keras. Brakkk…! Tubuh Masri dan Galuh terlempar kemudian terguling-guling lalu  terkapar di pinggir jalan. Tiba-tiba semuanya menjadi gelap.
***
            Pagi itu di Rumah Sakit Hadji Boejasin dipenuhi oleh keluarga dan sahabat Masri. Mereka tanpak resah dan gelisah. Dari raut wajahnya  terlihat kedukaan yang mendalam. Isak dan tangis  terdengar menyayat hati. Beberapa orang mencoba menenangkannya sambil memeluk agar mereka tetap tabah dan sabar menerima musibah yang terjadi.
            Di ruang ICU Galuh  terbaring  tak sadarkan diri. Keadaannya sangat parah dan mengkhawatirkan. Benturan keras dalam kecelakaan itu mengakibatkan  tengkorak kepala bagian belakang retak dan mengalami pendarahan yang hebat. Di pergelangan tangannya sudah terpasang jarum infus. Sementara terlihat pernafasannya dibantu dengan tabung oksigen. Di layar monitor tampak grafik  denyut jantungnya tidak stabil. Dari pernafasannya terdengar bunyi yang mengorok. Dokter yang merawatnya menyatakan bahwa kondisi Galuh dalam keadaan kritis.  Menurut dokter tipis kemungkinan untuk bisa diselamatkan.
            Sementara itu di ruangan lain, Masri sudah sadar dari pingsannya tetapi kondisinya  masih sangat lemah. Nasibnya masih beruntung dibandingkan dengan Galuh. Dia hanya mengalami patah kaki pada bagian paha  sebelah kiri,   dan memar pada bagian wajahnya. Sebotol cairan infus menetes dengan irama teratur tergantung di samping kanan ranjang. Kedua orang tuanya dan ditemani Fatimah menunggu dengan setia dan dengan penuh kecemasan. Mereka cemas jika Masri nanti menanyakan keadaan Galuh. Apa yang harus mereka katakan? Jika mereka katakan kondisi Galuh yang sebenarnya, mereka takut akan membuat jiwa Masri menjadi terguncang. Tetapi..., jika mereka berbohong mereka takut kebohongan mereka nanti pasti terbongkar dan bisa  membuat Masri menjadi marah, benci dan kecewa kepadanya.
            Kecemasan mereka terbukti. Dengan suara lemah dan parau tiba-tiba Masri bertanya.
   “Bu.., di mana Galuh? Bagaimana keadaannya? Aku sangat mengkhawatirkannya ?”
Ibu Masri tidak bisa menjawab. Air matanya mulai menetes tetapi cepat dihapusnya  dengan menggunakan ujung lengan bajunya. Dia takut jika Masri melihatnya.
            “Bu.., bagaimana keadaan Galuh? Aku ingin tahu keadaannya?” kata Masri sekali lagi dengan  penuh rasa gelisah.
Ibunya kembali tidak bisa menjawab. Tenggorokkannya terasa kering dan tercekik. Kedua bola matanya menatap wajah Fatimah seolah meminta untuk menjawab pertanyaan dari anaknya. Perlahan Fatimah lalu mendekati Masri. Kedua tangannya menyentuh tangan Masri seolah ingin memberikan kekuatan kepadanya. Ditatapnya mata Masri dengan penuh keyakinan.
            “Mas.., tenang dan sabarlah. Galuh masih dalam perawatan dokter. Sekarang dia berada di ruang ICU. Berdoalah semoga dia bisa disembuhkan.”
            Mendengar jawaban dari Fatimah, Masri menangis tersedu-sedu. Dia merasa sangat bersalah dan menyesal kenapa pada saat itu dia tidak berhati-hati membawa Galuh sehingga terjadi kecelakaan. Galuh… Galuh… Galuh… hanya itu yang bisa dia ucapkan sambil menangis dan meratap menyayat hati. Dia teringat kembali pada nasehat Fatimah setengah bulan yang lalu, bahwa orang yang akan menikah atau melangsungkan perkawinan  itu manis dagingan, jadi hendaknya jangan melakukan aktivitas di luar rumah. Calon pengantin sebaiknya berdiam di rumah saja sambil menunggu hari pernikahan dan  pesta perkawinannya, jika pantangan itu dilanggar maka malapetaka akan menimpa calon pengantin itu. Tapi, kini semuanya sudah terjadi. Nasi sudah menjadi bubur.
                                                            ***
            Tujuh hari dirawat di rumah sakit akhirnya Masri diperbolehkan pulang ke rumah. Wajahnya tampak pucat. Tak ada raut kebahagian di wajahnya. Tatapan matanya kosong. Hidupnya terasa hampa. Dihari kepulangannya  ternyata Galuh  berpulang ke rahmatullah memenuhi panggilan illahi.  Pulang ke negeri yang sangat jauh. Pulang  untuk selamanya. Innalillahi wainnalillahi rojiun.


Tamat

           

           

           





             









 MANIS DAGINGAN
                                     KARYA:  ALFIAN RIPANI, S.Pd.

Ini sudah  yang ketiga kalinya Masri berteriak. Berteriak histeris   memanggil sebuah nama. Galuh…Galuh … Galuh …. Hanya nama itu yang dia teriakkan sambil  berlari memasuki hutan lebat di belakang rumahnya. Warga  di kampungnya hanya bisa mengurut dada dan menatap iba melihat keadaannya.
Sejak ditinggal Galuh, Masri seperti tak terurus. Wajahnya yang kuyu tampak pucat pasi. Matanya  sembab kelihatan  begitu cekung. Kedua bola matanya redup  kehilangan gairah hidup seperti tak bisa memaknai arti hidup. Dari mulutnya terdengar suara  serak memanggil nama Galuh. Hanya nama itu yang selalu keluar dari kedua bibirnya yang bergetar. Seperti getar hatinya yang galau memikirkan Galuh orang yang sangat dicintainya.
Kedua orang tua Masri begitu cemas memikirkan nasib anaknya. Berbagai upaya telah dilakukan agar anaknya bisa disembuhkan. Mulai dari cara  medis sampai dengan cara non medis, tetapi usaha itu belum membuahkan hasil. Nampaknya,  anaknya masih belum bisa melupakan Galuh. Dia sangat mencintai Galuh.
Memang sejak mengenal Galuh sikap anaknya menjadi banyak berubah. Dia semakin rajin dan disiplin dalam bekerja. Perhatiannya terhadap orangtuanya pun semakin bertambah. Rupanya rasa cintanya kepada Galuh memberikan pengaruh yang positif dalam kehidupan anaknya. Tetapi karena cintanya yang terlalu mendalam ini pula yang membuat anaknya menjadi merana ketika  ditinggal pergi oleh orang yang dicintainya. Sampai detik ini dia tidak bisa melupakan Galuh.
Seharian  berada di hutan membuat kedua orang tua Masri menjadi gelisah. Mereka menyusul ke hutan  membujuk anaknya agar mau pulang ke rumah.
“Nak…, pulanglah ke rumah. Hari sudah menjelang magrib. Sebentar lagi suara azan berkumandang.Tak baik berada di hutan.” kata ibunya dengan suara yang memelas.
“Ibu...,aku ingin Galuh kembali kepadaku. Aku tak kuasa hidup tanpa dia.” kata Masri dengan suara  serak yang menghiba.
“Nak…, sadarlah. Galuh telah meninggal dunia. Kamu harus ikhlas melepas kepergiannya karena itu sudah takdir Yang Maha Kuasa.” kata ibunya mencoba menyadarkan Masri.
“Tapi, aku sangat mencintainya, Bu !” kata Masri sambil mengusap kedua pipinya yang basah oleh air mata.
“Nak, relakanlah kepergiannya. Orang yang sudah meninggal tak mungkin hidup kembali. Relakanlah dia pergi agar arwahnya tenang di alam baqa.”kata ibunya kembali ingin menyadarkan anaknya.
Masri jadi terdiam. Tiba-tiba tubuhnya menjadi kaku lalu terjatuh kemudian terkulai lemah. Perlahan kedua orangtuanya  memapahnya  membawa pulang ke rumah.
***
Tak tega rasanya hati Fatimah melihat derita Masri. Pernah sekali waktu dia   mencoba menghibur  dan membujuk  Masri agar bisa  melupakan Galuh. Tapi, usahanya gagal karena Masri hanya diam membisu. Diam dalam seribu bahasa.
Masih segar dalam ingatan Fatimah, dua bulan yang lalu, Masri begitu bahagia dan bersemangat dalam meniti hidup. Rencana pernikahannya dengan Galuh  begitu matang. Lima belas hari sesudah Idhul Fitri akan digelar pesta pernikahan  sekaligus  pesta perkawinannya dengan Galuh. Kartu undangan  sudah dicetak, siap untuk dibagikan. Pakaian pengantin pun sudah disiapkan. Tapi, apa mau dikata semua rencana itu hancur berantakan. Galuh, gadis yang cintainya ternyata telah pergi. Pergi jauh tak akan pernah kembali. Pergi jauh untuk selamanya menghadap illahi. Memang semua tak perlu terlalu disesali. Semua sudah terjadi dan menjadi  takdir illahi. Tapi, sebagai manusia biasa terkadang   ada juga rasa sesal menyusup ke relung hati. Sebelum semuanya sadar bahwa itu semata adalah  rahasia illahi.
Jauh sebelumnya, setengah bulan yang lalu Fatimah sudah mengingatkan Masri dan Galuh agar  menjelang pernikahannya nanti  keduanya bisa menahan diri agar tidak bepergian, berdiam diri di rumah saja. Tapi, Masri dan Galuh menjawabnya  hanya dengan  senyuman. Sebuah jawaban yang sulit untuk diterjemahkan olehnya.
Sebagai sahabat masa kecilnya, Fatimah ingin agar Masri bisa hidup berbahagia mempersunting Galuh sebagai isterinya. Dia tidak ingin terjadi sesuatu menimpa kedua calon pengantin itu. Bagi Fatimah petuah orang tua-tua dulu harus tetap dipatuhi karena itu sudah menjadi tradisi dan kepercayaan masyarakat di kampungnya.
Orang tua dulu selalu memberi petuah kepada calon pengantin  agar tidak  bepergian atau keluar dari rumah (dipingit) khususnya kepada pihak perempuannya. Menurut orangtua duhulu calon pengantin mudah sekali tertimpa musibah atau celaka yang bisa menggagalkan rencana perkawinanannya yang dalam istilah mereka disebut Manis Dagingan.
Menurut cerita mereka, pada zaman dahulu ada sepasang muda-mudi   yang mau menikah. Menjelang hari pernikahan dan pesta perkawinannya, calon pengantin itu pergi keluar rumah untuk  mencuci pakaian ke sebuah danau. Danau  itu letaknya tidak begitu jauh dari rumahnya.
Danau itu selain untuk kegiatan mencuci pakaian juga jadikan oleh warga sebagai tempat berusaha menangkap ikan. Warga di kampung itu menangkap ikan biasanya  menggunakan jala. Ikan-ikan di danau itu memang sangat banyak diantaranya yaitu  ikan gabus, lele, baung, lais, dan udang. Hasil tangkapan itu lalu mereka jual untuk memenuhi kebutuhan keluarganya
 Kegiatan mencuci pakaian memang sudah menjadi kegiatan  sehari-hari perempuan itu. Sambil bersenandung kecil dia berjalan menyusuri  jalan setapak membawa keranjang rotan berisi pakaian yang akan dicuci. Tampa ada firasat buruk dia terus berjalan  menyusuri jalan setapak itu. Kakinya yang jenjang  begitu lincah melangkah menyusuri jalan itu.  Dia hafal betul setiap jengkal jalan setapak itu. Di kanan-kiri jalan  itu banyak tumbuh pohon-pohon  dan semak belukar yang begitu lebat. Sesekali terdengar bunyi kicauan burung murai yang begitu merdu. Di ujung jalan setapak itu sebelum berbelok ke kanan menuju danau tumbuh sebatang pohon manggis yang sangat tinggi. Pohon manggis itu buahnya sangat lebat dan rasa buahnya sangat manis. Dia sering memungut buah manggis yang jatuh dari pohonnya untuk dibawa pulang ke rumah. Tak terasa sampailah perempuan itu ditepi  danau. Tapi, tak seperti biasanya danau itu kali ini kelihatan begitu  sepi. Biasanya di danau itu paling tidak ada empat sampai lima orang yang sedang mencuci pakaian. Tetapi kali ini hanya ada seorang lelaki setengah tua  memakai caping sambil mengayuh sampan di tengah danau. Lelaki itu orang yang sangat dikenalnya. Dia sedang menebar jala untuk  menangkap ikan.  
 Sambil melambaikan tangannya kepada lelaki setengah tua itu, perempuan itu  lalu berjalan menuju tempat mencuci  di bawah pohon yang rindang. Pohon itu  berada persis di tepi danau sehingga sangat nyaman dijadikan sebagai tempat untuk mencuci pakaian.
Perempuan itu lalu  mengeluarkan pakaian yang kotor  dari  dalam keranjang rotan. Dia tanpak begitu ceria. Kedua tangannya begitu cekatan menyikat pakaian. Sambil bersenandung kecil perempuan itu membayangkan betapa bahagianya  saat hari pernikahannya nanti. Sesekali dia tersenyum sendiri sehingga tanpak lesung pipit di kedua belah pipinya. Kedua kakinya yang jenjang dimasukkannya kedalam air danau yang bening dan dingin.
Perempuan itu begitu asyik mencuci pakaian. Kedua tangannya menyikat, mengucak, memeras, dan membilas pakaian hingga tidak terasa semua pakaian pun habis semuanya dicuci.
Setelah semua pakaian dicuci habis, perempuan itu lalu menceburkan dirinya ke danau untuk mandi. Air kolam yang bening dan dingin terasa sampai keseluruh tubuhnya. Sambil menggosok-gosok tubuhnya dengan sabun, perempuan itu tidak menyadari ada seekor buaya yang sangat besar datang mendekat. Kedua mata buaya itu berkilat mencorong ganas. Kedua rahangnya membuka sehingga kelihatan gigi-giginya yang tajam seperti belati. Ekornya yang panjang bergerigi seperti gergaji. Tiba-tiba buaya itu menyambar tubuh perempuan itu. Perempuan itu menjerit nyaring meminta tolong.
“Tolong…tolong…tolong!”
Perempuan itu meronta-ronta  mencoba melepaskan diri dari gigitan buaya itu. Tapi gigitan buaya itu sangat kuat. Kedua rahangnya yang kokoh menjepit sangat kuat. Tubuh perempuan yang malang itu dihempaskan buaya itu ke kiri dan ke kanan sehingga menimbulkan percikan dan gelombang serta  bunyi yang dahsyat. Semakin kuat perempuan itu meronta, semakin kuat pula buaya itu menggigitnya. Akhir perempuan itu tidak bisa meronta lagi. Tubuh perempuan itupun tenggelam kedasar danau diseret oleh buaya itu.
Sementara itu dari jauh tampak lelaki setengah tua itu mencoba datang mendekat. Rupanya suara jeritan meminta tolong dari perempuan itu sempat terdengar ditelinganya. Dengan cepat lelaki itu mendayung sampannya. Tetapi, lelaki itu  terlambat datang untuk menolong. Perempuan itu sudah  lenyap bersama riak-riak air di danau itu.Yang ditemuinya hanya sepotong kain sarung berwarna loreng yang sudah tercabik-cabik dan air danau  yang memerah bekas darah perempuan itu.
Kabar tentang perempuan yang lenyap dimakan buaya itu dengan cepat tersebar keseluruh warga di kampung itu. Orang-orang kampung berdatangan untuk membuktikan kebenaran kabar tersebut. Mereka seolah tidak percaya karena selama ini mereka tidak pernah melihat ada seekor buaya pun di danau itu. Jadi, sungguh sangat mengherankan jika tersiar kabar ada seekor buaya yang memangsa manusia.Tetapi setelah mereka mendatangi danau itu semua jadi terhenyak. Mata mereka jadi terbelalak. Mereka melihat air danau yang masih memerah bekas darah. Di tengah danau terlihat sisa potongan  kain sarung yang tercabik-cabik. Tanpa dikomando mereka  segera mencari  jasad perempuan itu, tetapi usaha mereka tidak membuahkan hasil. Jasad perempuan itu hilang  bersama lenyapnya  buaya itu.
Cerita tentang perempuan yang tewas dimakan buaya menjelang perkawinannya itu begitu membekas di hati warga di kampung itu. Mereka percaya bahwa setiap orang yang akan menikah itu  manis dagingan. Mereka berkeyakinan bahwa orang yang akan menikah harus berdiam di rumah saja tidak boleh bekerja ke luar rumah, jika pantangan itu dilanggar maka akan terjadi malapetaka menimpa orang tersebut.
***
            Awal perkenalan Masri dengan Galuh bermula ketika dia baru bertugas jadi seorang guru sekolah dasar di sebuah desa. Saat itu dia mengantar anak tetangganya pergi mengaji di sebuah TK Alquran. Di sana dia melihat seorang gadis manis berbusana muslim. Jubahnya berwarna putih. Sehelai jilbab berwarna merah jambu membalut wajahnya yang oval. Sebuah perpaduan warna yang tampak serasi di tubuh gadis itu.
 Gadis itu sedang mengajarkan anak-anak mengaji  menghafalkan ayat-ayat pendek  Alquran. Lantunan suaranya begitu merdu dalam membaca ayat-ayat Alquran sehingga membuat orang menjadi betah mendengarnya berlama-lama. Masri tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia ingin berkenalan dengan gadis itu. Sambil menuntun anak  itu, dia mengetuk pintu kelas  lalu mengucapkan salam
            “Assalamualaikum.”                                                                                   
            “Waalaikum salam.” jawab gadis itu sambil tersenyum hingga tampak  deretan giginya yang putih rapi dengan   kedua lesung pipit menghias pipinya  sehingga semakin menambah kecantikannya. Sejenak Masri terkesima. Dia terpesona melihat kecantikan gadis itu.
“Maaf Bu, saya terlambat mengantar anak ini masuk kelas.” kata Masri dengan sedikit gagap.
“Ah, tidak apa-apa  Pak.” jawab gadis tersebut singkat.
“Jangan panggil saya Pak,  panggil saya Masri. Saya guru baru di desa ini.” kata Masri mencoba mengenalkan diri.
“Oh…, saya Galuh. Minggu yang  lalu saya  mendengar kabar dari Pak Kades bahwa di desa kami  kedatangan seorang guru baru yang mengajar di sekolah dasar. Selamat datang di desa kami! Semoga  Bapak Masri betah tinggal di sini.”  kata gadis itu sambil tersenyum ramah.
***
Sejak perkenalannya dengan Galuh, Masri jadi sering berkunjung ke rumah Galuh. Seminggu sekali Masri datang  ke rumah Galuh. Dari sini, Masri mulai mengenal keluarga Galuh. Ternyata Galuh berasal dari keluarga yang sederhana dan bersahaja. Galuh ternyata anak semata wayang. Ibunya  meninggal dunia ketika  dia masih berusia tiga tahun. Dia dirawat dan dibesarkan oleh ayahnya. Ayah Galuh bekerja sebagai nelayan yang penghasilannya tidak menentu. Penghasilannya tergantung dari jumlah hasil tangkapan ikan yang diperolehnya.
Pernah sekali waktu ayah Galuh pulang dengan tangan hampa tanpa membawa ikan seekorpun. Ayah Galuh tentu saja sangat sedih, karena itu berarti dia harus berhutang di warung untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Untunglah pemilik warung itu mau mengutangkan barang dagangannya. Meskipun begitu, ayah Galuh kadang merasa malu juga kalau terlalu sering berhutang di warung itu. Tetapi rasa malu itu ditahannya karena semua itu dia lakukan  hanya untuk Galuh.
Sebagai anak semata wayang, Galuh menjadi tumpuan dan harapan ayahnya. Ayahnya ingin Galuh memiliki masa depan yang lebih baik, tidak seperti dirinya. Untuk itu, sampai saat ini tidak pernah terlintas dalam sedikit jua pun dalam pikirannya untuk menikah lagi. Baginya Galuh adalah segala-galanya dalam hidupnya. Dia rela melakukan apa saja demi anaknya.
Kini Galuh sudah dewasa dan menjelma menjadi seorang gadis yang cantik. Wajahnya mengingatkan dia pada wajah almarhum istrinya. Saat ini yang menjadi pikiran dan harapannya, Galuh  mendapat pendamping hidup yang penuh kasih sayang dan penuh rasa tanggung jawab terhadap anaknya.
Hari itu seperti biasanya Masri datang berkunjung ke rumah Galuh, tetapi tak seperti biasanya hatinya begitu gugup. Jantungnya berdebar-debar. Tetapi tekadnya sudah bulat. Sebulat niat hatinya untuk mengungkapkan perasaan cintanya kepada Galuh. Dia ingin mempersunting Galuh menjadi istrinya. Dia tidak mau Galuh keburu dilamar orang, karena Galuh adalah bunga desa yang menjadi idaman setiap lelaki.
Berada di depan Galuh, Masri tidak bisa berkata-kata. Tenggorakannya terasa kering. Mulutnya seperti terkunci. Dalam hatinya dia mengumpat dirinya sendiri.
 “Di mana keberanianmu? Bukankah kamu tadi bertekad berani  mengungkapkan perasaan cintamu kepada Galuh? Apakah kamu mau menjadi lelaki pengecut?”
Rupanya Galuh melihat sikap Masri tidak seperti biasanya, dia begitu kikuk. Biasanya Masri selalu bersikap tenang sambil bercerita diselingi canda dan tawa.
“Mas, ada  masalah apa? Kelihatannya Mas begitu serius?” kata Galuh mencoba memecah keheningan.
Sejenak Masri menjadi tergagap. Dia baru sadar bahwa ternyata sikapnya tadi diperhatikan oleh Galuh. Sambil menarik nafas yang dalam, dia mencoba untuk menenangkan dirinya. Hingga  akhirnya dia mulai berani berbicara.           
“Galuh…, sejak mengenalmu aku merasakan perasaan aneh yang menyusup dalam kedalam hatiku. Malam yang panjang selalu berhias mimpi-mimpi indah bersamamu. Hatiku selalu merasa gelisah bila tidak berjumpa denganmu.”
Kini Galuh yang menjadi terdiam. Kepalanya tertunduk memandangi lantai. Kedua pipinya kelihatan memerah. Kedua jarinya yang lentik memintal-mintal ujung jilbab yang dipakainya.
Melihat sikap Galuh yang kelihatan gugup, Masri menjadi lebih percaya diri. Dia memberanikan diri untuk lebih mendekat lalu diraih dan digenggamnya  tangan Galuh.  Sejenak Galuh menjadi terhenyak.
“Galuh..,sudikah kamu menerima cintaku yang tulus dengan sepenuh hatimu?”
Galuh hanya diam. Dia tidak bisa berkata-kata. Masri jadi gelisah, dia takut ada yang salah dari perkataannya sehingga membuat Galuh menjadi marah. Dia  cepat melepaskan genggaman tangannya dari Galuh.
“Maafkan, jika sikapku terlalu lancang kepadamu. Aku hanya ingin membahagiakanmu. Aku hanya ingin menjadi pedamping hidupmu. Dan aku hanya ingin mengarungi hidup bersamamu.” kata Masri penuh harap.
Sejenak Galuh kembali terdiam. Kedua bola matanya tampak berkaca-kaca. Masri jadi gelisah, dia takut cintanya ditolak.Tapi, sesaat kemudian dari kedua bibirnya keluar jawaban.
          “Mas…, sebenarnya kita memiliki perasaan yang sama. Aku juga merasakan seperti yang kamu rasakan. Sudah lama aku menunggu kepastian darimu.” kata Galuh dengan suara bergetar dan penuh kebahagian.
Tak kuasa Masri menahan kebahagiannya. Ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Berkali-kali mulutnya mengucapkan rasa syukur kepada sang Maha  Pencipta yang telah menyemaikan benih-benih   cinta antara dirinya  dan Galuh.
***
Pagi itu udara begitu sejuk. Matahari baru menampakkan sinarnya. Cahayanya memancar kuning keemas-emasan. Embun pagi tanpak membasahi rerumputan, bergelantungan  seperti butiran mutiara yang berkilau diterpa matahari pagi. Burung-burung berkicau merdu melompat-lompat dari ranting ke ranting pepohonan menambah indah suasana pagi.
Suasana indah dipagi itu juga dirasakan Masri. Sambil membersihkan sepeda motor, dari ponselnya terdengar lagu Ampat Si Ampat Lima yang merupakan lagu Banjar kesayangannya.
Ampat si ampat lima ading ai kuriding patah
Patah sabilah patah sabilah di higa lawang
Ampat si ampat lima ading ai kutanding sudah
Kada manyama-kada manyama nang si baju habang.
Banyak sudah nang maantar tapih
Salambar-lambar kada bakain
Banyak sudah urang nang mamilih
Juduhnya kada ka lain.
   Bagi Masri lagu itu mempunyai makna yang mendalam bagi Masri apalagi setelah lamarannya diterima oleh ayah Galuh dengan kedua belah tangan terbuka. Hatinya sungguh merasa sangat bahagia, sebab gadis yang selama ini dia idam-idamkan sebentar lagi akan menjadi istrinya. Istri yang sholeha yang akan memberikan anak-anak sebagai penerus keturunannya kelak.
Hari itu Masri dan Galuh sudah berjanji akan pergi ke kota untuk berbelanja. Dia dan Galuh sudah sepakat pergi bersama  membeli  barang-barang sebagai pelengkap dalam pernikahannya nanti. Setelah selesai mencuci sepeda motor kesayangannya, dia lalu menghidupkan sepeda motornya. Kemudian dia berangkat menuju rumah Galuh di desa seberang. Perjalanan menuju rumah Galuh cukup jauh. Jalan agak sempit dan berliku serta banyak tanjakan. Diperkirakan memerlukan waktu sekitar satu setengah jam sampai ke rumah Galuh. Tetapi jauhnya perjalanan  tidak menjadi masalah, karena rasa cintanya kepada Galuh mengalahkan segala-galanya. Tak terasa dia sampai di rumah Galuh. Di depan rumah, Galuh sudah menunggu. Setelah berpamitan dengan calon mertua, Masri pun berangkat bersama Galuh.
Sepanjang perjalanan  kedua pasangan ini begitu ceria. Gelak tawa dan canda selalu keluar dari mulut mereka. Kedua pasangan ini begitu bahagia sebab sebentar lagi mereka akan melangkah ke pelaminan menjadi suami istri. Dalam benak mereka terbayang hari-hari yang penuh kebahagian akan mereka lalui bersama.
Masri terus memacu sepeda motornya  menyusuri jalan beraspal yang sempit dan berliku. Sepanjang perjalanan pemandangan alam sungguh sangat menarik. Di sebelah kiri dan kanan jalan terbentang hamparan sawah yang sangat luas. Beberapa petani  bercaping lebar terlihat  sedang memanen padi. Dengan cekatan tangan-tangan mereka memetik tangkai-tangkai padi yang menguning dengan  menggunakan ani-ani.
Tiga tanjakan sudah  dilalui. Dari atas tanjakan  tanpak hamparan pegunungan yang mempesona. Sayangnya ada  beberapa bagian dari gunung itu yang runtuh dan berlubang karena adanya penambangan batu gunung. Beberapa buah eksavator   menggali dan meruntuhkan lereng-lereng gunung itu tanpa ampun. Mobil-mobil  truk dengan ukuran besar hilir mudik mengangkut batu-batu gunung itu.  Debu-debu beterbangan menimbulkan polusi udara. Entah sampai kapan kegiatan penambangan yang merusak lingkungan itu terus dilakukan. Disebuah tikungan jalan tajam yang menurun tiba-tiba sebuah truk meluncur berlawanan arah dengan kecepatan tinggi. Masri menjadi sangat terkejut dan gugup kemudian kehilangan keseimbangan. Dan tanpa dapat dihindarkan lagi terjadi tabrakan yang sangat keras. Brakkk…! Tubuh Masri dan Galuh terlempar kemudian terguling-guling lalu  terkapar di pinggir jalan. Tiba-tiba semuanya menjadi gelap.
***
            Pagi itu di Rumah Sakit Hadji Boejasin dipenuhi oleh keluarga dan sahabat Masri. Mereka tanpak resah dan gelisah. Dari raut wajahnya  terlihat kedukaan yang mendalam. Isak dan tangis  terdengar menyayat hati. Beberapa orang mencoba menenangkannya sambil memeluk agar mereka tetap tabah dan sabar menerima musibah yang terjadi.
            Di ruang ICU Galuh  terbaring  tak sadarkan diri. Keadaannya sangat parah dan mengkhawatirkan. Benturan keras dalam kecelakaan itu mengakibatkan  tengkorak kepala bagian belakang retak dan mengalami pendarahan yang hebat. Di pergelangan tangannya sudah terpasang jarum infus. Sementara terlihat pernafasannya dibantu dengan tabung oksigen. Di layar monitor tampak grafik  denyut jantungnya tidak stabil. Dari pernafasannya terdengar bunyi yang mengorok. Dokter yang merawatnya menyatakan bahwa kondisi Galuh dalam keadaan kritis.  Menurut dokter tipis kemungkinan untuk bisa diselamatkan.
            Sementara itu di ruangan lain, Masri sudah sadar dari pingsannya tetapi kondisinya  masih sangat lemah. Nasibnya masih beruntung dibandingkan dengan Galuh. Dia hanya mengalami patah kaki pada bagian paha  sebelah kiri,   dan memar pada bagian wajahnya. Sebotol cairan infus menetes dengan irama teratur tergantung di samping kanan ranjang. Kedua orang tuanya dan ditemani Fatimah menunggu dengan setia dan dengan penuh kecemasan. Mereka cemas jika Masri nanti menanyakan keadaan Galuh. Apa yang harus mereka katakan? Jika mereka katakan kondisi Galuh yang sebenarnya, mereka takut akan membuat jiwa Masri menjadi terguncang. Tetapi..., jika mereka berbohong mereka takut kebohongan mereka nanti pasti terbongkar dan bisa  membuat Masri menjadi marah, benci dan kecewa kepadanya.
            Kecemasan mereka terbukti. Dengan suara lemah dan parau tiba-tiba Masri bertanya.
   “Bu.., di mana Galuh? Bagaimana keadaannya? Aku sangat mengkhawatirkannya ?”
Ibu Masri tidak bisa menjawab. Air matanya mulai menetes tetapi cepat dihapusnya  dengan menggunakan ujung lengan bajunya. Dia takut jika Masri melihatnya.
            “Bu.., bagaimana keadaan Galuh? Aku ingin tahu keadaannya?” kata Masri sekali lagi dengan  penuh rasa gelisah.
Ibunya kembali tidak bisa menjawab. Tenggorokkannya terasa kering dan tercekik. Kedua bola matanya menatap wajah Fatimah seolah meminta untuk menjawab pertanyaan dari anaknya. Perlahan Fatimah lalu mendekati Masri. Kedua tangannya menyentuh tangan Masri seolah ingin memberikan kekuatan kepadanya. Ditatapnya mata Masri dengan penuh keyakinan.
            “Mas.., tenang dan sabarlah. Galuh masih dalam perawatan dokter. Sekarang dia berada di ruang ICU. Berdoalah semoga dia bisa disembuhkan.”
            Mendengar jawaban dari Fatimah, Masri menangis tersedu-sedu. Dia merasa sangat bersalah dan menyesal kenapa pada saat itu dia tidak berhati-hati membawa Galuh sehingga terjadi kecelakaan. Galuh… Galuh… Galuh… hanya itu yang bisa dia ucapkan sambil menangis dan meratap menyayat hati. Dia teringat kembali pada nasehat Fatimah setengah bulan yang lalu, bahwa orang yang akan menikah atau melangsungkan perkawinan  itu manis dagingan, jadi hendaknya jangan melakukan aktivitas di luar rumah. Calon pengantin sebaiknya berdiam di rumah saja sambil menunggu hari pernikahan dan  pesta perkawinannya, jika pantangan itu dilanggar maka malapetaka akan menimpa calon pengantin itu. Tapi, kini semuanya sudah terjadi. Nasi sudah menjadi bubur.
                                                            ***
            Tujuh hari dirawat di rumah sakit akhirnya Masri diperbolehkan pulang ke rumah. Wajahnya tampak pucat. Tak ada raut kebahagian di wajahnya. Tatapan matanya kosong. Hidupnya terasa hampa. Dihari kepulangannya  ternyata Galuh  berpulang ke rahmatullah memenuhi panggilan illahi.  Pulang ke negeri yang sangat jauh. Pulang  untuk selamanya. Innalillahi wainnalillahi rojiun.


Tamat

           

           

           





             























           
           

 














           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar