MANIS DAGINGAN
KARYA:
ALFIAN RIPANI, S.Pd.
Ini sudah yang ketiga kalinya Masri berteriak. Berteriak
histeris memanggil sebuah nama.
Galuh…Galuh … Galuh …. Hanya nama itu yang dia teriakkan sambil berlari memasuki hutan lebat di belakang
rumahnya. Warga di kampungnya hanya bisa
mengurut dada dan menatap iba melihat keadaannya.
Sejak ditinggal Galuh, Masri
seperti tak terurus. Wajahnya yang kuyu tampak pucat pasi. Matanya sembab kelihatan begitu cekung. Kedua bola matanya redup kehilangan gairah hidup seperti tak bisa
memaknai arti hidup. Dari mulutnya terdengar suara serak memanggil nama Galuh. Hanya nama itu
yang selalu keluar dari kedua bibirnya yang bergetar. Seperti getar hatinya
yang galau memikirkan Galuh orang yang sangat dicintainya.
Kedua orang tua Masri begitu cemas
memikirkan nasib anaknya. Berbagai upaya telah dilakukan agar anaknya bisa
disembuhkan. Mulai dari cara medis
sampai dengan cara non medis, tetapi usaha itu belum membuahkan hasil.
Nampaknya, anaknya masih belum bisa
melupakan Galuh. Dia sangat mencintai Galuh.
Memang sejak mengenal Galuh sikap
anaknya menjadi banyak berubah. Dia semakin rajin dan disiplin dalam bekerja. Perhatiannya
terhadap orangtuanya pun semakin bertambah. Rupanya rasa cintanya kepada Galuh
memberikan pengaruh yang positif dalam kehidupan anaknya. Tetapi karena cintanya
yang terlalu mendalam ini pula yang membuat anaknya menjadi merana ketika ditinggal pergi oleh orang yang dicintainya. Sampai
detik ini dia tidak bisa melupakan Galuh.
Seharian berada di hutan membuat kedua orang tua Masri
menjadi gelisah. Mereka menyusul ke hutan membujuk anaknya agar mau pulang ke rumah.
“Nak…, pulanglah ke rumah. Hari sudah
menjelang magrib. Sebentar lagi suara azan berkumandang.Tak baik berada di
hutan.” kata ibunya dengan suara yang memelas.
“Ibu...,aku ingin Galuh kembali
kepadaku. Aku tak kuasa hidup tanpa dia.” kata Masri dengan suara serak yang menghiba.
“Nak…, sadarlah. Galuh telah
meninggal dunia. Kamu harus ikhlas melepas kepergiannya karena itu sudah takdir
Yang Maha Kuasa.” kata ibunya mencoba menyadarkan Masri.
“Tapi, aku sangat mencintainya, Bu
!” kata Masri sambil mengusap kedua pipinya yang basah oleh air mata.
“Nak, relakanlah kepergiannya.
Orang yang sudah meninggal tak mungkin hidup kembali. Relakanlah dia pergi agar
arwahnya tenang di alam baqa.”kata ibunya kembali ingin menyadarkan anaknya.
Masri jadi terdiam. Tiba-tiba
tubuhnya menjadi kaku lalu terjatuh kemudian terkulai lemah. Perlahan kedua
orangtuanya memapahnya membawa pulang ke rumah.
***
Tak tega rasanya hati Fatimah melihat
derita Masri. Pernah sekali waktu dia mencoba
menghibur dan membujuk Masri agar bisa melupakan Galuh. Tapi, usahanya gagal karena
Masri hanya diam membisu. Diam dalam seribu bahasa.
Masih segar dalam ingatan Fatimah,
dua bulan yang lalu, Masri begitu bahagia dan bersemangat dalam meniti hidup.
Rencana pernikahannya dengan Galuh
begitu matang. Lima belas hari sesudah Idhul Fitri akan digelar pesta pernikahan sekaligus pesta perkawinannya dengan Galuh. Kartu
undangan sudah dicetak, siap untuk
dibagikan. Pakaian pengantin pun sudah disiapkan. Tapi, apa mau dikata semua
rencana itu hancur berantakan. Galuh, gadis yang cintainya ternyata telah
pergi. Pergi jauh tak akan pernah kembali. Pergi jauh untuk selamanya menghadap
illahi. Memang semua tak perlu terlalu disesali. Semua sudah terjadi dan
menjadi takdir illahi. Tapi, sebagai
manusia biasa terkadang ada juga rasa sesal menyusup ke relung hati.
Sebelum semuanya sadar bahwa itu semata adalah
rahasia illahi.
Jauh sebelumnya, setengah bulan
yang lalu Fatimah sudah mengingatkan Masri dan Galuh agar menjelang pernikahannya nanti keduanya bisa menahan diri agar tidak bepergian,
berdiam diri di rumah saja. Tapi, Masri dan Galuh menjawabnya hanya dengan senyuman. Sebuah jawaban yang sulit untuk
diterjemahkan olehnya.
Sebagai sahabat masa kecilnya,
Fatimah ingin agar Masri bisa hidup berbahagia mempersunting Galuh sebagai
isterinya. Dia tidak ingin terjadi sesuatu menimpa kedua calon pengantin itu. Bagi
Fatimah petuah orang tua-tua dulu harus tetap dipatuhi karena itu sudah menjadi
tradisi dan kepercayaan masyarakat di kampungnya.
Orang tua dulu selalu memberi
petuah kepada calon pengantin agar tidak
bepergian atau keluar dari rumah
(dipingit) khususnya kepada pihak perempuannya. Menurut orangtua duhulu calon
pengantin mudah sekali tertimpa musibah atau celaka yang bisa menggagalkan
rencana perkawinanannya yang dalam istilah mereka disebut Manis Dagingan.
Menurut cerita mereka, pada zaman
dahulu ada sepasang muda-mudi yang mau menikah. Menjelang hari pernikahan
dan pesta perkawinannya, calon pengantin itu pergi keluar rumah untuk mencuci pakaian ke sebuah danau. Danau itu letaknya tidak begitu jauh dari rumahnya.
Danau itu selain untuk kegiatan mencuci
pakaian juga jadikan oleh warga sebagai tempat berusaha menangkap ikan. Warga
di kampung itu menangkap ikan biasanya menggunakan jala. Ikan-ikan di danau itu
memang sangat banyak diantaranya yaitu
ikan gabus, lele, baung, lais, dan udang. Hasil tangkapan itu lalu mereka
jual untuk memenuhi kebutuhan keluarganya
Kegiatan mencuci pakaian memang sudah menjadi
kegiatan sehari-hari perempuan itu. Sambil
bersenandung kecil dia berjalan menyusuri
jalan setapak membawa keranjang rotan berisi pakaian yang akan dicuci. Tampa
ada firasat buruk dia terus berjalan menyusuri jalan setapak itu. Kakinya yang
jenjang begitu lincah melangkah menyusuri
jalan itu. Dia hafal betul setiap
jengkal jalan setapak itu. Di kanan-kiri jalan itu banyak tumbuh pohon-pohon dan semak belukar yang begitu lebat. Sesekali
terdengar bunyi kicauan burung murai yang begitu merdu. Di ujung jalan setapak
itu sebelum berbelok ke kanan menuju danau tumbuh sebatang pohon manggis yang
sangat tinggi. Pohon manggis itu buahnya sangat lebat dan rasa buahnya sangat
manis. Dia sering memungut buah manggis yang jatuh dari pohonnya untuk dibawa
pulang ke rumah. Tak terasa sampailah perempuan itu ditepi danau. Tapi, tak seperti biasanya danau itu
kali ini kelihatan begitu sepi. Biasanya
di danau itu paling tidak ada empat sampai lima orang yang sedang mencuci
pakaian. Tetapi kali ini hanya ada seorang lelaki setengah tua memakai caping sambil mengayuh sampan di
tengah danau. Lelaki itu orang yang sangat dikenalnya. Dia sedang menebar jala
untuk menangkap ikan.
Sambil melambaikan tangannya kepada lelaki
setengah tua itu, perempuan itu lalu berjalan
menuju tempat mencuci di bawah pohon
yang rindang. Pohon itu berada persis di
tepi danau sehingga sangat nyaman dijadikan sebagai tempat untuk mencuci
pakaian.
Perempuan itu lalu mengeluarkan pakaian yang kotor dari
dalam keranjang rotan. Dia tanpak begitu ceria. Kedua tangannya begitu
cekatan menyikat pakaian. Sambil bersenandung kecil perempuan itu membayangkan
betapa bahagianya saat hari pernikahannya
nanti. Sesekali dia tersenyum sendiri sehingga tanpak lesung pipit di kedua belah
pipinya. Kedua kakinya yang jenjang dimasukkannya kedalam air danau yang bening
dan dingin.
Perempuan itu begitu asyik mencuci
pakaian. Kedua tangannya menyikat, mengucak, memeras, dan membilas pakaian
hingga tidak terasa semua pakaian pun habis semuanya dicuci.
Setelah semua pakaian dicuci habis,
perempuan itu lalu menceburkan dirinya ke danau untuk mandi. Air kolam yang
bening dan dingin terasa sampai keseluruh tubuhnya. Sambil menggosok-gosok
tubuhnya dengan sabun, perempuan itu tidak menyadari ada seekor buaya yang
sangat besar datang mendekat. Kedua mata buaya itu berkilat mencorong ganas.
Kedua rahangnya membuka sehingga kelihatan gigi-giginya yang tajam seperti
belati. Ekornya yang panjang bergerigi seperti gergaji. Tiba-tiba buaya itu
menyambar tubuh perempuan itu. Perempuan itu menjerit nyaring meminta tolong.
“Tolong…tolong…tolong!”
Perempuan itu meronta-ronta mencoba melepaskan diri dari gigitan buaya
itu. Tapi gigitan buaya itu sangat kuat. Kedua rahangnya yang kokoh menjepit sangat
kuat. Tubuh perempuan yang malang itu dihempaskan buaya itu ke kiri dan ke
kanan sehingga menimbulkan percikan dan gelombang serta bunyi yang dahsyat. Semakin kuat perempuan itu
meronta, semakin kuat pula buaya itu menggigitnya. Akhir perempuan itu tidak
bisa meronta lagi. Tubuh perempuan itupun tenggelam kedasar danau diseret oleh
buaya itu.
Sementara itu dari jauh tampak
lelaki setengah tua itu mencoba datang mendekat. Rupanya suara jeritan meminta
tolong dari perempuan itu sempat terdengar ditelinganya. Dengan cepat lelaki itu
mendayung sampannya. Tetapi, lelaki itu terlambat
datang untuk menolong. Perempuan itu sudah lenyap bersama riak-riak air di danau itu.Yang
ditemuinya hanya sepotong kain sarung berwarna loreng yang sudah tercabik-cabik
dan air danau yang memerah bekas darah
perempuan itu.
Kabar tentang perempuan yang lenyap
dimakan buaya itu dengan cepat tersebar keseluruh warga di kampung itu.
Orang-orang kampung berdatangan untuk membuktikan kebenaran kabar tersebut.
Mereka seolah tidak percaya karena selama ini mereka tidak pernah melihat ada seekor
buaya pun di danau itu. Jadi, sungguh sangat mengherankan jika tersiar kabar
ada seekor buaya yang memangsa manusia.Tetapi setelah mereka mendatangi danau itu
semua jadi terhenyak. Mata mereka jadi terbelalak. Mereka melihat air danau
yang masih memerah bekas darah. Di tengah danau terlihat sisa potongan kain sarung yang tercabik-cabik. Tanpa
dikomando mereka segera mencari jasad perempuan itu, tetapi usaha mereka tidak
membuahkan hasil. Jasad perempuan itu hilang bersama lenyapnya buaya itu.
Cerita tentang perempuan yang tewas
dimakan buaya menjelang perkawinannya itu begitu membekas di hati warga di kampung
itu. Mereka percaya bahwa setiap orang yang akan menikah itu manis
dagingan. Mereka berkeyakinan bahwa orang yang akan menikah harus berdiam
di rumah saja tidak boleh bekerja ke luar rumah, jika pantangan itu dilanggar
maka akan terjadi malapetaka menimpa orang tersebut.
***
Awal
perkenalan Masri dengan Galuh bermula ketika dia baru bertugas jadi seorang
guru sekolah dasar di sebuah desa. Saat itu dia mengantar anak tetangganya
pergi mengaji di sebuah TK Alquran. Di sana dia melihat seorang gadis manis
berbusana muslim. Jubahnya berwarna putih. Sehelai jilbab berwarna merah jambu
membalut wajahnya yang oval. Sebuah perpaduan warna yang tampak serasi di tubuh
gadis itu.
Gadis itu sedang mengajarkan anak-anak mengaji
menghafalkan ayat-ayat pendek Alquran. Lantunan suaranya begitu merdu dalam
membaca ayat-ayat Alquran sehingga membuat orang menjadi betah mendengarnya
berlama-lama. Masri tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia ingin
berkenalan dengan gadis itu. Sambil menuntun anak itu, dia mengetuk pintu kelas lalu mengucapkan salam
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum
salam.” jawab gadis itu sambil tersenyum hingga tampak deretan giginya yang putih rapi dengan kedua lesung pipit menghias pipinya sehingga semakin menambah kecantikannya.
Sejenak Masri terkesima. Dia terpesona melihat kecantikan gadis itu.
“Maaf Bu, saya terlambat mengantar
anak ini masuk kelas.” kata Masri dengan sedikit gagap.
“Ah, tidak
apa-apa Pak.” jawab gadis tersebut
singkat.
“Jangan panggil saya Pak, panggil saya Masri. Saya guru baru di desa ini.”
kata Masri mencoba mengenalkan diri.
“Oh…, saya Galuh. Minggu yang lalu saya mendengar kabar dari Pak Kades bahwa di desa
kami kedatangan seorang guru baru yang
mengajar di sekolah dasar. Selamat datang di desa kami! Semoga Bapak Masri betah tinggal di sini.” kata gadis itu sambil tersenyum ramah.
***
Sejak perkenalannya dengan Galuh,
Masri jadi sering berkunjung ke rumah Galuh. Seminggu sekali Masri datang ke rumah Galuh. Dari sini, Masri mulai
mengenal keluarga Galuh. Ternyata Galuh berasal dari keluarga yang sederhana
dan bersahaja. Galuh ternyata anak semata wayang. Ibunya meninggal dunia ketika dia masih berusia tiga tahun. Dia dirawat dan
dibesarkan oleh ayahnya. Ayah Galuh bekerja sebagai nelayan yang penghasilannya
tidak menentu. Penghasilannya tergantung dari jumlah hasil tangkapan ikan yang
diperolehnya.
Pernah sekali waktu ayah Galuh
pulang dengan tangan hampa tanpa membawa ikan seekorpun. Ayah Galuh tentu saja
sangat sedih, karena itu berarti dia harus berhutang di warung untuk mencukupi
kebutuhan sehari-hari. Untunglah pemilik warung itu mau mengutangkan barang
dagangannya. Meskipun begitu, ayah Galuh kadang merasa malu juga kalau terlalu
sering berhutang di warung itu. Tetapi rasa malu itu ditahannya karena semua
itu dia lakukan hanya untuk Galuh.
Sebagai anak semata wayang, Galuh
menjadi tumpuan dan harapan ayahnya. Ayahnya ingin Galuh memiliki masa depan
yang lebih baik, tidak seperti dirinya. Untuk itu, sampai saat ini tidak pernah
terlintas dalam sedikit jua pun dalam pikirannya untuk menikah lagi. Baginya
Galuh adalah segala-galanya dalam hidupnya. Dia rela melakukan apa saja demi
anaknya.
Kini Galuh sudah dewasa dan
menjelma menjadi seorang gadis yang cantik. Wajahnya mengingatkan dia pada
wajah almarhum istrinya. Saat ini yang menjadi pikiran dan harapannya, Galuh mendapat pendamping hidup yang penuh kasih
sayang dan penuh rasa tanggung jawab terhadap anaknya.
Hari itu seperti biasanya Masri
datang berkunjung ke rumah Galuh, tetapi tak seperti biasanya hatinya begitu
gugup. Jantungnya berdebar-debar. Tetapi tekadnya sudah bulat. Sebulat niat
hatinya untuk mengungkapkan perasaan cintanya kepada Galuh. Dia ingin
mempersunting Galuh menjadi istrinya. Dia tidak mau Galuh keburu dilamar orang,
karena Galuh adalah bunga desa yang menjadi idaman setiap lelaki.
Berada di depan Galuh, Masri tidak
bisa berkata-kata. Tenggorakannya terasa kering. Mulutnya seperti terkunci.
Dalam hatinya dia mengumpat dirinya sendiri.
“Di mana keberanianmu? Bukankah kamu tadi
bertekad berani mengungkapkan perasaan
cintamu kepada Galuh? Apakah kamu mau menjadi lelaki pengecut?”
Rupanya Galuh melihat sikap Masri
tidak seperti biasanya, dia begitu kikuk. Biasanya Masri selalu bersikap tenang
sambil bercerita diselingi canda dan tawa.
“Mas, ada masalah apa? Kelihatannya Mas begitu serius?”
kata Galuh mencoba memecah keheningan.
Sejenak Masri menjadi tergagap. Dia
baru sadar bahwa ternyata sikapnya tadi diperhatikan oleh Galuh. Sambil menarik
nafas yang dalam, dia mencoba untuk menenangkan dirinya. Hingga akhirnya dia mulai berani berbicara.
“Galuh…, sejak mengenalmu aku
merasakan perasaan aneh yang menyusup dalam kedalam hatiku. Malam yang panjang
selalu berhias mimpi-mimpi indah bersamamu. Hatiku selalu merasa gelisah bila
tidak berjumpa denganmu.”
Kini Galuh yang menjadi terdiam. Kepalanya
tertunduk memandangi lantai. Kedua pipinya kelihatan memerah. Kedua jarinya
yang lentik memintal-mintal ujung jilbab yang dipakainya.
Melihat sikap Galuh yang kelihatan
gugup, Masri menjadi lebih percaya diri. Dia memberanikan diri untuk lebih
mendekat lalu diraih dan digenggamnya tangan Galuh. Sejenak Galuh menjadi terhenyak.
“Galuh..,sudikah kamu menerima
cintaku yang tulus dengan sepenuh hatimu?”
Galuh hanya diam. Dia tidak bisa
berkata-kata. Masri jadi gelisah, dia takut ada yang salah dari perkataannya
sehingga membuat Galuh menjadi marah. Dia
cepat melepaskan genggaman tangannya dari Galuh.
“Maafkan, jika sikapku terlalu
lancang kepadamu. Aku hanya ingin membahagiakanmu. Aku hanya ingin menjadi
pedamping hidupmu. Dan aku hanya ingin mengarungi hidup bersamamu.” kata Masri
penuh harap.
Sejenak Galuh kembali terdiam. Kedua
bola matanya tampak berkaca-kaca. Masri jadi gelisah, dia takut cintanya
ditolak.Tapi, sesaat kemudian dari kedua bibirnya keluar jawaban.
“Mas…,
sebenarnya kita memiliki perasaan yang sama. Aku juga merasakan seperti yang
kamu rasakan. Sudah lama aku menunggu kepastian darimu.” kata Galuh dengan suara
bergetar dan penuh kebahagian.
Tak kuasa Masri menahan kebahagiannya.
Ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Berkali-kali mulutnya mengucapkan
rasa syukur kepada sang Maha Pencipta
yang telah menyemaikan benih-benih cinta antara dirinya dan Galuh.
***
Pagi itu udara begitu sejuk.
Matahari baru menampakkan sinarnya. Cahayanya memancar kuning keemas-emasan.
Embun pagi tanpak membasahi rerumputan, bergelantungan seperti butiran mutiara yang berkilau diterpa
matahari pagi. Burung-burung berkicau merdu melompat-lompat dari ranting ke
ranting pepohonan menambah indah suasana pagi.
Suasana indah dipagi itu juga
dirasakan Masri. Sambil membersihkan sepeda motor, dari ponselnya terdengar
lagu Ampat Si Ampat Lima yang
merupakan lagu Banjar kesayangannya.
Ampat
si ampat lima ading ai kuriding patah
Patah
sabilah patah sabilah di higa lawang
Ampat
si ampat lima ading ai kutanding sudah
Kada
manyama-kada manyama nang si baju habang.
Banyak
sudah nang maantar tapih
Salambar-lambar
kada bakain
Banyak
sudah urang nang mamilih
Juduhnya
kada ka lain.
Bagi
Masri lagu itu mempunyai makna yang mendalam bagi Masri apalagi setelah lamarannya
diterima oleh ayah Galuh dengan kedua belah tangan terbuka. Hatinya sungguh
merasa sangat bahagia, sebab gadis yang selama ini dia idam-idamkan sebentar
lagi akan menjadi istrinya. Istri yang sholeha yang akan memberikan anak-anak
sebagai penerus keturunannya kelak.
Hari itu Masri dan Galuh sudah
berjanji akan pergi ke kota untuk berbelanja. Dia dan Galuh sudah sepakat pergi
bersama membeli barang-barang sebagai pelengkap dalam pernikahannya
nanti. Setelah selesai mencuci sepeda motor kesayangannya, dia lalu menghidupkan
sepeda motornya. Kemudian dia berangkat menuju rumah Galuh di desa seberang. Perjalanan
menuju rumah Galuh cukup jauh. Jalan agak sempit dan berliku serta banyak
tanjakan. Diperkirakan memerlukan waktu sekitar satu setengah jam sampai ke
rumah Galuh. Tetapi jauhnya perjalanan tidak
menjadi masalah, karena rasa cintanya kepada Galuh mengalahkan segala-galanya. Tak
terasa dia sampai di rumah Galuh. Di depan rumah, Galuh sudah menunggu. Setelah
berpamitan dengan calon mertua, Masri pun berangkat bersama Galuh.
Sepanjang perjalanan kedua pasangan ini begitu ceria. Gelak tawa
dan canda selalu keluar dari mulut mereka. Kedua pasangan ini begitu bahagia
sebab sebentar lagi mereka akan melangkah ke pelaminan menjadi suami istri.
Dalam benak mereka terbayang hari-hari yang penuh kebahagian akan mereka lalui
bersama.
Masri terus memacu sepeda
motornya menyusuri jalan beraspal yang
sempit dan berliku. Sepanjang perjalanan pemandangan alam sungguh sangat
menarik. Di sebelah kiri dan kanan jalan terbentang hamparan sawah yang sangat
luas. Beberapa petani bercaping lebar terlihat
sedang memanen padi. Dengan cekatan
tangan-tangan mereka memetik tangkai-tangkai padi yang menguning dengan menggunakan ani-ani.
Tiga tanjakan sudah dilalui. Dari atas tanjakan tanpak hamparan pegunungan yang mempesona.
Sayangnya ada beberapa bagian dari
gunung itu yang runtuh dan berlubang karena adanya penambangan batu gunung. Beberapa
buah eksavator menggali dan meruntuhkan
lereng-lereng gunung itu tanpa ampun. Mobil-mobil truk dengan ukuran besar hilir mudik mengangkut
batu-batu gunung itu. Debu-debu
beterbangan menimbulkan polusi udara. Entah sampai kapan kegiatan penambangan
yang merusak lingkungan itu terus dilakukan. Disebuah tikungan jalan tajam yang
menurun tiba-tiba sebuah truk meluncur berlawanan arah dengan kecepatan tinggi.
Masri menjadi sangat terkejut dan gugup kemudian kehilangan keseimbangan. Dan
tanpa dapat dihindarkan lagi terjadi tabrakan yang sangat keras. Brakkk…! Tubuh
Masri dan Galuh terlempar kemudian terguling-guling lalu terkapar di pinggir jalan. Tiba-tiba semuanya
menjadi gelap.
***
Pagi
itu di Rumah Sakit Hadji Boejasin dipenuhi oleh keluarga dan sahabat Masri.
Mereka tanpak resah dan gelisah. Dari raut wajahnya terlihat kedukaan yang mendalam. Isak dan
tangis terdengar menyayat hati. Beberapa
orang mencoba menenangkannya sambil memeluk agar mereka tetap tabah dan sabar
menerima musibah yang terjadi.
Di
ruang ICU Galuh terbaring tak sadarkan diri. Keadaannya sangat parah
dan mengkhawatirkan. Benturan keras dalam kecelakaan itu mengakibatkan tengkorak kepala bagian belakang retak dan mengalami
pendarahan yang hebat. Di pergelangan tangannya sudah terpasang jarum infus.
Sementara terlihat pernafasannya dibantu dengan tabung oksigen. Di layar
monitor tampak grafik denyut jantungnya
tidak stabil. Dari pernafasannya terdengar bunyi yang mengorok. Dokter yang
merawatnya menyatakan bahwa kondisi Galuh dalam keadaan kritis. Menurut dokter tipis kemungkinan untuk bisa
diselamatkan.
Sementara
itu di ruangan lain, Masri sudah sadar dari pingsannya tetapi kondisinya masih sangat lemah. Nasibnya masih beruntung
dibandingkan dengan Galuh. Dia hanya mengalami patah kaki pada bagian paha sebelah kiri,
dan memar pada bagian wajahnya.
Sebotol cairan infus menetes dengan irama teratur tergantung di samping kanan ranjang.
Kedua orang tuanya dan ditemani Fatimah menunggu dengan setia dan dengan penuh
kecemasan. Mereka cemas jika Masri nanti menanyakan keadaan Galuh. Apa yang
harus mereka katakan? Jika mereka katakan kondisi Galuh yang sebenarnya, mereka
takut akan membuat jiwa Masri menjadi terguncang. Tetapi..., jika mereka
berbohong mereka takut kebohongan mereka nanti pasti terbongkar dan bisa membuat Masri menjadi marah, benci dan kecewa
kepadanya.
Kecemasan
mereka terbukti. Dengan suara lemah dan parau tiba-tiba Masri bertanya.
“Bu..,
di mana Galuh? Bagaimana keadaannya? Aku sangat mengkhawatirkannya ?”
Ibu Masri tidak bisa menjawab. Air
matanya mulai menetes tetapi cepat dihapusnya
dengan menggunakan ujung lengan bajunya. Dia takut jika Masri
melihatnya.
“Bu..,
bagaimana keadaan Galuh? Aku ingin tahu keadaannya?” kata Masri sekali lagi dengan penuh rasa gelisah.
Ibunya kembali tidak bisa menjawab.
Tenggorokkannya terasa kering dan tercekik. Kedua bola matanya menatap wajah
Fatimah seolah meminta untuk menjawab pertanyaan dari anaknya. Perlahan Fatimah
lalu mendekati Masri. Kedua tangannya menyentuh tangan Masri seolah ingin
memberikan kekuatan kepadanya. Ditatapnya mata Masri dengan penuh keyakinan.
“Mas..,
tenang dan sabarlah. Galuh masih dalam perawatan dokter. Sekarang dia berada di
ruang ICU. Berdoalah semoga dia bisa disembuhkan.”
Mendengar
jawaban dari Fatimah, Masri menangis tersedu-sedu. Dia merasa sangat bersalah
dan menyesal kenapa pada saat itu dia tidak berhati-hati membawa Galuh sehingga
terjadi kecelakaan. Galuh… Galuh… Galuh… hanya itu yang bisa dia ucapkan sambil
menangis dan meratap menyayat hati. Dia teringat kembali pada nasehat Fatimah
setengah bulan yang lalu, bahwa orang yang akan menikah atau melangsungkan
perkawinan itu manis dagingan, jadi hendaknya jangan melakukan aktivitas di luar
rumah. Calon pengantin sebaiknya berdiam di rumah saja sambil menunggu hari
pernikahan dan pesta perkawinannya, jika
pantangan itu dilanggar maka malapetaka akan menimpa calon pengantin itu. Tapi,
kini semuanya sudah terjadi. Nasi sudah menjadi bubur.
***
Tujuh
hari dirawat di rumah sakit akhirnya Masri diperbolehkan pulang ke rumah. Wajahnya
tampak pucat. Tak ada raut kebahagian di wajahnya. Tatapan matanya kosong.
Hidupnya terasa hampa. Dihari kepulangannya
ternyata Galuh berpulang ke
rahmatullah memenuhi panggilan illahi. Pulang
ke negeri yang sangat jauh. Pulang untuk
selamanya. Innalillahi wainnalillahi rojiun.
Tamat
MANIS DAGINGAN
KARYA:
ALFIAN RIPANI, S.Pd.
Ini sudah yang ketiga kalinya Masri berteriak. Berteriak
histeris memanggil sebuah nama.
Galuh…Galuh … Galuh …. Hanya nama itu yang dia teriakkan sambil berlari memasuki hutan lebat di belakang
rumahnya. Warga di kampungnya hanya bisa
mengurut dada dan menatap iba melihat keadaannya.
Sejak ditinggal Galuh, Masri
seperti tak terurus. Wajahnya yang kuyu tampak pucat pasi. Matanya sembab kelihatan begitu cekung. Kedua bola matanya redup kehilangan gairah hidup seperti tak bisa
memaknai arti hidup. Dari mulutnya terdengar suara serak memanggil nama Galuh. Hanya nama itu
yang selalu keluar dari kedua bibirnya yang bergetar. Seperti getar hatinya
yang galau memikirkan Galuh orang yang sangat dicintainya.
Kedua orang tua Masri begitu cemas
memikirkan nasib anaknya. Berbagai upaya telah dilakukan agar anaknya bisa
disembuhkan. Mulai dari cara medis
sampai dengan cara non medis, tetapi usaha itu belum membuahkan hasil.
Nampaknya, anaknya masih belum bisa
melupakan Galuh. Dia sangat mencintai Galuh.
Memang sejak mengenal Galuh sikap
anaknya menjadi banyak berubah. Dia semakin rajin dan disiplin dalam bekerja. Perhatiannya
terhadap orangtuanya pun semakin bertambah. Rupanya rasa cintanya kepada Galuh
memberikan pengaruh yang positif dalam kehidupan anaknya. Tetapi karena cintanya
yang terlalu mendalam ini pula yang membuat anaknya menjadi merana ketika ditinggal pergi oleh orang yang dicintainya. Sampai
detik ini dia tidak bisa melupakan Galuh.
Seharian berada di hutan membuat kedua orang tua Masri
menjadi gelisah. Mereka menyusul ke hutan membujuk anaknya agar mau pulang ke rumah.
“Nak…, pulanglah ke rumah. Hari sudah
menjelang magrib. Sebentar lagi suara azan berkumandang.Tak baik berada di
hutan.” kata ibunya dengan suara yang memelas.
“Ibu...,aku ingin Galuh kembali
kepadaku. Aku tak kuasa hidup tanpa dia.” kata Masri dengan suara serak yang menghiba.
“Nak…, sadarlah. Galuh telah
meninggal dunia. Kamu harus ikhlas melepas kepergiannya karena itu sudah takdir
Yang Maha Kuasa.” kata ibunya mencoba menyadarkan Masri.
“Tapi, aku sangat mencintainya, Bu
!” kata Masri sambil mengusap kedua pipinya yang basah oleh air mata.
“Nak, relakanlah kepergiannya.
Orang yang sudah meninggal tak mungkin hidup kembali. Relakanlah dia pergi agar
arwahnya tenang di alam baqa.”kata ibunya kembali ingin menyadarkan anaknya.
Masri jadi terdiam. Tiba-tiba
tubuhnya menjadi kaku lalu terjatuh kemudian terkulai lemah. Perlahan kedua
orangtuanya memapahnya membawa pulang ke rumah.
***
Tak tega rasanya hati Fatimah melihat
derita Masri. Pernah sekali waktu dia mencoba
menghibur dan membujuk Masri agar bisa melupakan Galuh. Tapi, usahanya gagal karena
Masri hanya diam membisu. Diam dalam seribu bahasa.
Masih segar dalam ingatan Fatimah,
dua bulan yang lalu, Masri begitu bahagia dan bersemangat dalam meniti hidup.
Rencana pernikahannya dengan Galuh
begitu matang. Lima belas hari sesudah Idhul Fitri akan digelar pesta pernikahan sekaligus pesta perkawinannya dengan Galuh. Kartu
undangan sudah dicetak, siap untuk
dibagikan. Pakaian pengantin pun sudah disiapkan. Tapi, apa mau dikata semua
rencana itu hancur berantakan. Galuh, gadis yang cintainya ternyata telah
pergi. Pergi jauh tak akan pernah kembali. Pergi jauh untuk selamanya menghadap
illahi. Memang semua tak perlu terlalu disesali. Semua sudah terjadi dan
menjadi takdir illahi. Tapi, sebagai
manusia biasa terkadang ada juga rasa sesal menyusup ke relung hati.
Sebelum semuanya sadar bahwa itu semata adalah
rahasia illahi.
Jauh sebelumnya, setengah bulan
yang lalu Fatimah sudah mengingatkan Masri dan Galuh agar menjelang pernikahannya nanti keduanya bisa menahan diri agar tidak bepergian,
berdiam diri di rumah saja. Tapi, Masri dan Galuh menjawabnya hanya dengan senyuman. Sebuah jawaban yang sulit untuk
diterjemahkan olehnya.
Sebagai sahabat masa kecilnya,
Fatimah ingin agar Masri bisa hidup berbahagia mempersunting Galuh sebagai
isterinya. Dia tidak ingin terjadi sesuatu menimpa kedua calon pengantin itu. Bagi
Fatimah petuah orang tua-tua dulu harus tetap dipatuhi karena itu sudah menjadi
tradisi dan kepercayaan masyarakat di kampungnya.
Orang tua dulu selalu memberi
petuah kepada calon pengantin agar tidak
bepergian atau keluar dari rumah
(dipingit) khususnya kepada pihak perempuannya. Menurut orangtua duhulu calon
pengantin mudah sekali tertimpa musibah atau celaka yang bisa menggagalkan
rencana perkawinanannya yang dalam istilah mereka disebut Manis Dagingan.
Menurut cerita mereka, pada zaman
dahulu ada sepasang muda-mudi yang mau menikah. Menjelang hari pernikahan
dan pesta perkawinannya, calon pengantin itu pergi keluar rumah untuk mencuci pakaian ke sebuah danau. Danau itu letaknya tidak begitu jauh dari rumahnya.
Danau itu selain untuk kegiatan mencuci
pakaian juga jadikan oleh warga sebagai tempat berusaha menangkap ikan. Warga
di kampung itu menangkap ikan biasanya menggunakan jala. Ikan-ikan di danau itu
memang sangat banyak diantaranya yaitu
ikan gabus, lele, baung, lais, dan udang. Hasil tangkapan itu lalu mereka
jual untuk memenuhi kebutuhan keluarganya
Kegiatan mencuci pakaian memang sudah menjadi
kegiatan sehari-hari perempuan itu. Sambil
bersenandung kecil dia berjalan menyusuri
jalan setapak membawa keranjang rotan berisi pakaian yang akan dicuci. Tampa
ada firasat buruk dia terus berjalan menyusuri jalan setapak itu. Kakinya yang
jenjang begitu lincah melangkah menyusuri
jalan itu. Dia hafal betul setiap
jengkal jalan setapak itu. Di kanan-kiri jalan itu banyak tumbuh pohon-pohon dan semak belukar yang begitu lebat. Sesekali
terdengar bunyi kicauan burung murai yang begitu merdu. Di ujung jalan setapak
itu sebelum berbelok ke kanan menuju danau tumbuh sebatang pohon manggis yang
sangat tinggi. Pohon manggis itu buahnya sangat lebat dan rasa buahnya sangat
manis. Dia sering memungut buah manggis yang jatuh dari pohonnya untuk dibawa
pulang ke rumah. Tak terasa sampailah perempuan itu ditepi danau. Tapi, tak seperti biasanya danau itu
kali ini kelihatan begitu sepi. Biasanya
di danau itu paling tidak ada empat sampai lima orang yang sedang mencuci
pakaian. Tetapi kali ini hanya ada seorang lelaki setengah tua memakai caping sambil mengayuh sampan di
tengah danau. Lelaki itu orang yang sangat dikenalnya. Dia sedang menebar jala
untuk menangkap ikan.
Sambil melambaikan tangannya kepada lelaki
setengah tua itu, perempuan itu lalu berjalan
menuju tempat mencuci di bawah pohon
yang rindang. Pohon itu berada persis di
tepi danau sehingga sangat nyaman dijadikan sebagai tempat untuk mencuci
pakaian.
Perempuan itu lalu mengeluarkan pakaian yang kotor dari
dalam keranjang rotan. Dia tanpak begitu ceria. Kedua tangannya begitu
cekatan menyikat pakaian. Sambil bersenandung kecil perempuan itu membayangkan
betapa bahagianya saat hari pernikahannya
nanti. Sesekali dia tersenyum sendiri sehingga tanpak lesung pipit di kedua belah
pipinya. Kedua kakinya yang jenjang dimasukkannya kedalam air danau yang bening
dan dingin.
Perempuan itu begitu asyik mencuci
pakaian. Kedua tangannya menyikat, mengucak, memeras, dan membilas pakaian
hingga tidak terasa semua pakaian pun habis semuanya dicuci.
Setelah semua pakaian dicuci habis,
perempuan itu lalu menceburkan dirinya ke danau untuk mandi. Air kolam yang
bening dan dingin terasa sampai keseluruh tubuhnya. Sambil menggosok-gosok
tubuhnya dengan sabun, perempuan itu tidak menyadari ada seekor buaya yang
sangat besar datang mendekat. Kedua mata buaya itu berkilat mencorong ganas.
Kedua rahangnya membuka sehingga kelihatan gigi-giginya yang tajam seperti
belati. Ekornya yang panjang bergerigi seperti gergaji. Tiba-tiba buaya itu
menyambar tubuh perempuan itu. Perempuan itu menjerit nyaring meminta tolong.
“Tolong…tolong…tolong!”
Perempuan itu meronta-ronta mencoba melepaskan diri dari gigitan buaya
itu. Tapi gigitan buaya itu sangat kuat. Kedua rahangnya yang kokoh menjepit sangat
kuat. Tubuh perempuan yang malang itu dihempaskan buaya itu ke kiri dan ke
kanan sehingga menimbulkan percikan dan gelombang serta bunyi yang dahsyat. Semakin kuat perempuan itu
meronta, semakin kuat pula buaya itu menggigitnya. Akhir perempuan itu tidak
bisa meronta lagi. Tubuh perempuan itupun tenggelam kedasar danau diseret oleh
buaya itu.
Sementara itu dari jauh tampak
lelaki setengah tua itu mencoba datang mendekat. Rupanya suara jeritan meminta
tolong dari perempuan itu sempat terdengar ditelinganya. Dengan cepat lelaki itu
mendayung sampannya. Tetapi, lelaki itu terlambat
datang untuk menolong. Perempuan itu sudah lenyap bersama riak-riak air di danau itu.Yang
ditemuinya hanya sepotong kain sarung berwarna loreng yang sudah tercabik-cabik
dan air danau yang memerah bekas darah
perempuan itu.
Kabar tentang perempuan yang lenyap
dimakan buaya itu dengan cepat tersebar keseluruh warga di kampung itu.
Orang-orang kampung berdatangan untuk membuktikan kebenaran kabar tersebut.
Mereka seolah tidak percaya karena selama ini mereka tidak pernah melihat ada seekor
buaya pun di danau itu. Jadi, sungguh sangat mengherankan jika tersiar kabar
ada seekor buaya yang memangsa manusia.Tetapi setelah mereka mendatangi danau itu
semua jadi terhenyak. Mata mereka jadi terbelalak. Mereka melihat air danau
yang masih memerah bekas darah. Di tengah danau terlihat sisa potongan kain sarung yang tercabik-cabik. Tanpa
dikomando mereka segera mencari jasad perempuan itu, tetapi usaha mereka tidak
membuahkan hasil. Jasad perempuan itu hilang bersama lenyapnya buaya itu.
Cerita tentang perempuan yang tewas
dimakan buaya menjelang perkawinannya itu begitu membekas di hati warga di kampung
itu. Mereka percaya bahwa setiap orang yang akan menikah itu manis
dagingan. Mereka berkeyakinan bahwa orang yang akan menikah harus berdiam
di rumah saja tidak boleh bekerja ke luar rumah, jika pantangan itu dilanggar
maka akan terjadi malapetaka menimpa orang tersebut.
***
Awal
perkenalan Masri dengan Galuh bermula ketika dia baru bertugas jadi seorang
guru sekolah dasar di sebuah desa. Saat itu dia mengantar anak tetangganya
pergi mengaji di sebuah TK Alquran. Di sana dia melihat seorang gadis manis
berbusana muslim. Jubahnya berwarna putih. Sehelai jilbab berwarna merah jambu
membalut wajahnya yang oval. Sebuah perpaduan warna yang tampak serasi di tubuh
gadis itu.
Gadis itu sedang mengajarkan anak-anak mengaji
menghafalkan ayat-ayat pendek Alquran. Lantunan suaranya begitu merdu dalam
membaca ayat-ayat Alquran sehingga membuat orang menjadi betah mendengarnya
berlama-lama. Masri tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia ingin
berkenalan dengan gadis itu. Sambil menuntun anak itu, dia mengetuk pintu kelas lalu mengucapkan salam
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum
salam.” jawab gadis itu sambil tersenyum hingga tampak deretan giginya yang putih rapi dengan kedua lesung pipit menghias pipinya sehingga semakin menambah kecantikannya.
Sejenak Masri terkesima. Dia terpesona melihat kecantikan gadis itu.
“Maaf Bu, saya terlambat mengantar
anak ini masuk kelas.” kata Masri dengan sedikit gagap.
“Ah, tidak
apa-apa Pak.” jawab gadis tersebut
singkat.
“Jangan panggil saya Pak, panggil saya Masri. Saya guru baru di desa ini.”
kata Masri mencoba mengenalkan diri.
“Oh…, saya Galuh. Minggu yang lalu saya mendengar kabar dari Pak Kades bahwa di desa
kami kedatangan seorang guru baru yang
mengajar di sekolah dasar. Selamat datang di desa kami! Semoga Bapak Masri betah tinggal di sini.” kata gadis itu sambil tersenyum ramah.
***
Sejak perkenalannya dengan Galuh,
Masri jadi sering berkunjung ke rumah Galuh. Seminggu sekali Masri datang ke rumah Galuh. Dari sini, Masri mulai
mengenal keluarga Galuh. Ternyata Galuh berasal dari keluarga yang sederhana
dan bersahaja. Galuh ternyata anak semata wayang. Ibunya meninggal dunia ketika dia masih berusia tiga tahun. Dia dirawat dan
dibesarkan oleh ayahnya. Ayah Galuh bekerja sebagai nelayan yang penghasilannya
tidak menentu. Penghasilannya tergantung dari jumlah hasil tangkapan ikan yang
diperolehnya.
Pernah sekali waktu ayah Galuh
pulang dengan tangan hampa tanpa membawa ikan seekorpun. Ayah Galuh tentu saja
sangat sedih, karena itu berarti dia harus berhutang di warung untuk mencukupi
kebutuhan sehari-hari. Untunglah pemilik warung itu mau mengutangkan barang
dagangannya. Meskipun begitu, ayah Galuh kadang merasa malu juga kalau terlalu
sering berhutang di warung itu. Tetapi rasa malu itu ditahannya karena semua
itu dia lakukan hanya untuk Galuh.
Sebagai anak semata wayang, Galuh
menjadi tumpuan dan harapan ayahnya. Ayahnya ingin Galuh memiliki masa depan
yang lebih baik, tidak seperti dirinya. Untuk itu, sampai saat ini tidak pernah
terlintas dalam sedikit jua pun dalam pikirannya untuk menikah lagi. Baginya
Galuh adalah segala-galanya dalam hidupnya. Dia rela melakukan apa saja demi
anaknya.
Kini Galuh sudah dewasa dan
menjelma menjadi seorang gadis yang cantik. Wajahnya mengingatkan dia pada
wajah almarhum istrinya. Saat ini yang menjadi pikiran dan harapannya, Galuh mendapat pendamping hidup yang penuh kasih
sayang dan penuh rasa tanggung jawab terhadap anaknya.
Hari itu seperti biasanya Masri
datang berkunjung ke rumah Galuh, tetapi tak seperti biasanya hatinya begitu
gugup. Jantungnya berdebar-debar. Tetapi tekadnya sudah bulat. Sebulat niat
hatinya untuk mengungkapkan perasaan cintanya kepada Galuh. Dia ingin
mempersunting Galuh menjadi istrinya. Dia tidak mau Galuh keburu dilamar orang,
karena Galuh adalah bunga desa yang menjadi idaman setiap lelaki.
Berada di depan Galuh, Masri tidak
bisa berkata-kata. Tenggorakannya terasa kering. Mulutnya seperti terkunci.
Dalam hatinya dia mengumpat dirinya sendiri.
“Di mana keberanianmu? Bukankah kamu tadi
bertekad berani mengungkapkan perasaan
cintamu kepada Galuh? Apakah kamu mau menjadi lelaki pengecut?”
Rupanya Galuh melihat sikap Masri
tidak seperti biasanya, dia begitu kikuk. Biasanya Masri selalu bersikap tenang
sambil bercerita diselingi canda dan tawa.
“Mas, ada masalah apa? Kelihatannya Mas begitu serius?”
kata Galuh mencoba memecah keheningan.
Sejenak Masri menjadi tergagap. Dia
baru sadar bahwa ternyata sikapnya tadi diperhatikan oleh Galuh. Sambil menarik
nafas yang dalam, dia mencoba untuk menenangkan dirinya. Hingga akhirnya dia mulai berani berbicara.
“Galuh…, sejak mengenalmu aku
merasakan perasaan aneh yang menyusup dalam kedalam hatiku. Malam yang panjang
selalu berhias mimpi-mimpi indah bersamamu. Hatiku selalu merasa gelisah bila
tidak berjumpa denganmu.”
Kini Galuh yang menjadi terdiam. Kepalanya
tertunduk memandangi lantai. Kedua pipinya kelihatan memerah. Kedua jarinya
yang lentik memintal-mintal ujung jilbab yang dipakainya.
Melihat sikap Galuh yang kelihatan
gugup, Masri menjadi lebih percaya diri. Dia memberanikan diri untuk lebih
mendekat lalu diraih dan digenggamnya tangan Galuh. Sejenak Galuh menjadi terhenyak.
“Galuh..,sudikah kamu menerima
cintaku yang tulus dengan sepenuh hatimu?”
Galuh hanya diam. Dia tidak bisa
berkata-kata. Masri jadi gelisah, dia takut ada yang salah dari perkataannya
sehingga membuat Galuh menjadi marah. Dia
cepat melepaskan genggaman tangannya dari Galuh.
“Maafkan, jika sikapku terlalu
lancang kepadamu. Aku hanya ingin membahagiakanmu. Aku hanya ingin menjadi
pedamping hidupmu. Dan aku hanya ingin mengarungi hidup bersamamu.” kata Masri
penuh harap.
Sejenak Galuh kembali terdiam. Kedua
bola matanya tampak berkaca-kaca. Masri jadi gelisah, dia takut cintanya
ditolak.Tapi, sesaat kemudian dari kedua bibirnya keluar jawaban.
“Mas…,
sebenarnya kita memiliki perasaan yang sama. Aku juga merasakan seperti yang
kamu rasakan. Sudah lama aku menunggu kepastian darimu.” kata Galuh dengan suara
bergetar dan penuh kebahagian.
Tak kuasa Masri menahan kebahagiannya.
Ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Berkali-kali mulutnya mengucapkan
rasa syukur kepada sang Maha Pencipta
yang telah menyemaikan benih-benih cinta antara dirinya dan Galuh.
***
Pagi itu udara begitu sejuk.
Matahari baru menampakkan sinarnya. Cahayanya memancar kuning keemas-emasan.
Embun pagi tanpak membasahi rerumputan, bergelantungan seperti butiran mutiara yang berkilau diterpa
matahari pagi. Burung-burung berkicau merdu melompat-lompat dari ranting ke
ranting pepohonan menambah indah suasana pagi.
Suasana indah dipagi itu juga
dirasakan Masri. Sambil membersihkan sepeda motor, dari ponselnya terdengar
lagu Ampat Si Ampat Lima yang
merupakan lagu Banjar kesayangannya.
Ampat
si ampat lima ading ai kuriding patah
Patah
sabilah patah sabilah di higa lawang
Ampat
si ampat lima ading ai kutanding sudah
Kada
manyama-kada manyama nang si baju habang.
Banyak
sudah nang maantar tapih
Salambar-lambar
kada bakain
Banyak
sudah urang nang mamilih
Juduhnya
kada ka lain.
Bagi
Masri lagu itu mempunyai makna yang mendalam bagi Masri apalagi setelah lamarannya
diterima oleh ayah Galuh dengan kedua belah tangan terbuka. Hatinya sungguh
merasa sangat bahagia, sebab gadis yang selama ini dia idam-idamkan sebentar
lagi akan menjadi istrinya. Istri yang sholeha yang akan memberikan anak-anak
sebagai penerus keturunannya kelak.
Hari itu Masri dan Galuh sudah
berjanji akan pergi ke kota untuk berbelanja. Dia dan Galuh sudah sepakat pergi
bersama membeli barang-barang sebagai pelengkap dalam pernikahannya
nanti. Setelah selesai mencuci sepeda motor kesayangannya, dia lalu menghidupkan
sepeda motornya. Kemudian dia berangkat menuju rumah Galuh di desa seberang. Perjalanan
menuju rumah Galuh cukup jauh. Jalan agak sempit dan berliku serta banyak
tanjakan. Diperkirakan memerlukan waktu sekitar satu setengah jam sampai ke
rumah Galuh. Tetapi jauhnya perjalanan tidak
menjadi masalah, karena rasa cintanya kepada Galuh mengalahkan segala-galanya. Tak
terasa dia sampai di rumah Galuh. Di depan rumah, Galuh sudah menunggu. Setelah
berpamitan dengan calon mertua, Masri pun berangkat bersama Galuh.
Sepanjang perjalanan kedua pasangan ini begitu ceria. Gelak tawa
dan canda selalu keluar dari mulut mereka. Kedua pasangan ini begitu bahagia
sebab sebentar lagi mereka akan melangkah ke pelaminan menjadi suami istri.
Dalam benak mereka terbayang hari-hari yang penuh kebahagian akan mereka lalui
bersama.
Masri terus memacu sepeda
motornya menyusuri jalan beraspal yang
sempit dan berliku. Sepanjang perjalanan pemandangan alam sungguh sangat
menarik. Di sebelah kiri dan kanan jalan terbentang hamparan sawah yang sangat
luas. Beberapa petani bercaping lebar terlihat
sedang memanen padi. Dengan cekatan
tangan-tangan mereka memetik tangkai-tangkai padi yang menguning dengan menggunakan ani-ani.
Tiga tanjakan sudah dilalui. Dari atas tanjakan tanpak hamparan pegunungan yang mempesona.
Sayangnya ada beberapa bagian dari
gunung itu yang runtuh dan berlubang karena adanya penambangan batu gunung. Beberapa
buah eksavator menggali dan meruntuhkan
lereng-lereng gunung itu tanpa ampun. Mobil-mobil truk dengan ukuran besar hilir mudik mengangkut
batu-batu gunung itu. Debu-debu
beterbangan menimbulkan polusi udara. Entah sampai kapan kegiatan penambangan
yang merusak lingkungan itu terus dilakukan. Disebuah tikungan jalan tajam yang
menurun tiba-tiba sebuah truk meluncur berlawanan arah dengan kecepatan tinggi.
Masri menjadi sangat terkejut dan gugup kemudian kehilangan keseimbangan. Dan
tanpa dapat dihindarkan lagi terjadi tabrakan yang sangat keras. Brakkk…! Tubuh
Masri dan Galuh terlempar kemudian terguling-guling lalu terkapar di pinggir jalan. Tiba-tiba semuanya
menjadi gelap.
***
Pagi
itu di Rumah Sakit Hadji Boejasin dipenuhi oleh keluarga dan sahabat Masri.
Mereka tanpak resah dan gelisah. Dari raut wajahnya terlihat kedukaan yang mendalam. Isak dan
tangis terdengar menyayat hati. Beberapa
orang mencoba menenangkannya sambil memeluk agar mereka tetap tabah dan sabar
menerima musibah yang terjadi.
Di
ruang ICU Galuh terbaring tak sadarkan diri. Keadaannya sangat parah
dan mengkhawatirkan. Benturan keras dalam kecelakaan itu mengakibatkan tengkorak kepala bagian belakang retak dan mengalami
pendarahan yang hebat. Di pergelangan tangannya sudah terpasang jarum infus.
Sementara terlihat pernafasannya dibantu dengan tabung oksigen. Di layar
monitor tampak grafik denyut jantungnya
tidak stabil. Dari pernafasannya terdengar bunyi yang mengorok. Dokter yang
merawatnya menyatakan bahwa kondisi Galuh dalam keadaan kritis. Menurut dokter tipis kemungkinan untuk bisa
diselamatkan.
Sementara
itu di ruangan lain, Masri sudah sadar dari pingsannya tetapi kondisinya masih sangat lemah. Nasibnya masih beruntung
dibandingkan dengan Galuh. Dia hanya mengalami patah kaki pada bagian paha sebelah kiri,
dan memar pada bagian wajahnya.
Sebotol cairan infus menetes dengan irama teratur tergantung di samping kanan ranjang.
Kedua orang tuanya dan ditemani Fatimah menunggu dengan setia dan dengan penuh
kecemasan. Mereka cemas jika Masri nanti menanyakan keadaan Galuh. Apa yang
harus mereka katakan? Jika mereka katakan kondisi Galuh yang sebenarnya, mereka
takut akan membuat jiwa Masri menjadi terguncang. Tetapi..., jika mereka
berbohong mereka takut kebohongan mereka nanti pasti terbongkar dan bisa membuat Masri menjadi marah, benci dan kecewa
kepadanya.
Kecemasan
mereka terbukti. Dengan suara lemah dan parau tiba-tiba Masri bertanya.
“Bu..,
di mana Galuh? Bagaimana keadaannya? Aku sangat mengkhawatirkannya ?”
Ibu Masri tidak bisa menjawab. Air
matanya mulai menetes tetapi cepat dihapusnya
dengan menggunakan ujung lengan bajunya. Dia takut jika Masri
melihatnya.
“Bu..,
bagaimana keadaan Galuh? Aku ingin tahu keadaannya?” kata Masri sekali lagi dengan penuh rasa gelisah.
Ibunya kembali tidak bisa menjawab.
Tenggorokkannya terasa kering dan tercekik. Kedua bola matanya menatap wajah
Fatimah seolah meminta untuk menjawab pertanyaan dari anaknya. Perlahan Fatimah
lalu mendekati Masri. Kedua tangannya menyentuh tangan Masri seolah ingin
memberikan kekuatan kepadanya. Ditatapnya mata Masri dengan penuh keyakinan.
“Mas..,
tenang dan sabarlah. Galuh masih dalam perawatan dokter. Sekarang dia berada di
ruang ICU. Berdoalah semoga dia bisa disembuhkan.”
Mendengar
jawaban dari Fatimah, Masri menangis tersedu-sedu. Dia merasa sangat bersalah
dan menyesal kenapa pada saat itu dia tidak berhati-hati membawa Galuh sehingga
terjadi kecelakaan. Galuh… Galuh… Galuh… hanya itu yang bisa dia ucapkan sambil
menangis dan meratap menyayat hati. Dia teringat kembali pada nasehat Fatimah
setengah bulan yang lalu, bahwa orang yang akan menikah atau melangsungkan
perkawinan itu manis dagingan, jadi hendaknya jangan melakukan aktivitas di luar
rumah. Calon pengantin sebaiknya berdiam di rumah saja sambil menunggu hari
pernikahan dan pesta perkawinannya, jika
pantangan itu dilanggar maka malapetaka akan menimpa calon pengantin itu. Tapi,
kini semuanya sudah terjadi. Nasi sudah menjadi bubur.
***
Tujuh
hari dirawat di rumah sakit akhirnya Masri diperbolehkan pulang ke rumah. Wajahnya
tampak pucat. Tak ada raut kebahagian di wajahnya. Tatapan matanya kosong.
Hidupnya terasa hampa. Dihari kepulangannya
ternyata Galuh berpulang ke
rahmatullah memenuhi panggilan illahi. Pulang
ke negeri yang sangat jauh. Pulang untuk
selamanya. Innalillahi wainnalillahi rojiun.
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar