BULAN TERTUTUP AWAN
(Karya: Alfian Ripani, S.Pd)
Rembulan terpikat tersipu malu.
Ketika bintang datang mendekat. Ada rasa mengalir hangat. Dalam relung
hati sukma berhasrat. Melayang
angan terbang ke langit lepas. Menembus
cakrawala luas terlihat tak berbatas.
Kini, jelas sudah bagi Bintang apa
yang selama ini menyebabkan Bulan menjadi malu dan salah tingkah. Rupanya mimpi itu. Ya,
mimpi itu begitu membekas dalam dirinya
hingga tak pupus dari ingatan. Tak kuasa dia memendam mimpi-mimpi itu hingga akhirnya
dia tumpahkan mimpi itu pada Bintang,
lelaki yang selama ini diam-diam dipujanya, walaupun dengan muka sedikit memerah menahan rasa malu. Satu sikap yang perlu keberanian
luar biasa bagi seorang perempuan untuk menceritakan sebuah mimpi indahnya kepada
seorang lelaki yang diam-diam dipujanya.
“Ah, peduli amat! Bukankah di abad ke-21 ini tidak ada lagi perbedaan antara
laki-laki dan perempuan? Bukankah dulu Siti Zulaiha juga menyatakan rasa
cintanya kepada Nabi Yusuf juga secara terang-terangan? Dan bukankah pada
akhirnya Siti Zulaiha berhasil meraih cinta Nabi Yusuf walaupun sebelunya harus
melalui kejadian yang memalukan?” Guman Bulan di dalam hati.
Memang, sejak mengenal Bintang setahun yang lalu Bulan merasakan ada sesuatu yang menarik dan menjadi magnet
dalam diri lelaki itu hingga mampu menghipnotis dirinya. Seorang lelaki ganteng, ramah, murah senyum, dan enak diajak bicara. Dan
yang terpenting perhatiannya selama ini memberi nilai plus bagi Bulan. Pendek
kata, menurut Bulan, Bintang adalah sosok lelaki yang sempurna dan menjadi
idamannya. Lelaki yang selama ini mampu memelintir hatinya sekailgus mengisi kekosongan hatinya hingga membuat dia
bertekuk lutut tak berdaya.
Perlahan Bulan mengangkat mukanya.
Sambil menarik napas panjang dia lalu bercerita.
“Mas, tadi malam aku bermimpi bertemu denganmu,” kata Bulan perlahan.
Bintang mendengarkan Bulan bercerita dengan penuh perhatian. Dia tidak
ingin memotong cerita Bulan. Tatapan matanya yang lembut dan senyumnya yang menawan
menambah kekuatan bagi Bulan untuk melanjutkan ceritanya.
“Mimpi itu begitu indah. Kau
mencumbuku begitu mesra hingga sekujur tubuhku menggigil menahan gejolak jiwa.
Semua terasa begitu nyata hingga aku tak bisa melupakannya.” kata Bulan degan
suara serak dan lirih.
Sesaat keadaan menjadi hening.
Bulan tertunduk tak kuasa menatap Bintang. Dia merasa sangat gelisah menunggu reaksi dari Bintang.
Tapi, keadaan berubah ketika Bintang
berkata;
“Bulan, mengapa kita mengalami mimpi yang sama? Aku juga mengalami mimpi indah
seperti yang engkau alami, ” kata Bintang.
“Aku yakin, ini suatu pertanda
bahwa kita akan dipersatukan dalam ikatan cinta yang suci dan abadi,” kata
Bintang lagi sambil meraih dan mengelus lembut tangan Bulan.
Bulan diam tersipu malu. Ada rasa
hangat mengalir di tubuhnya. Ada rasa damai mengalir dalam dadanya
“Bulan, mimpi adalah lukisan hati yang terdalam. Melukiskan keadaan hati
yang sebenarnya. Bila mimpi itu menjadi nyata sudikah engkau hidup bersamaku untuk selamanya?” Kata Bintang
dengan suara bergetar penuh perasaan.
Ingin rasanya Bulan melonjak-lonjak
sambil berteriak karena girang mendengar kata-kata yang keluar dari mulut
Bintang. Untung saja dia masih bisa menahan diri. Kata-kata itu bagaikan melodi
cinta yang sangat merdu. Sanggup membuai dan mencumbu sukma yang selama ini mendambakan
akan cinta. Cinta seorang Bintang.
Tak kuasa Bulan untuk berkata. Kedua
bibirnya bergetar. Kedua bola matanya yang indah berkaca-kaca. Bulu matanya
yang lentik sedikit basah kena air mata. Air mata bahagia.
Bintang meraih pundak bulan. Lembut
perlahan dielusnya pundak itu dan Bulan pun
semakin terbenam dalam pelukan Bintang.
***
Kriiiiing…………..kriiiing…………kriiiing,
suara jam beker nyaring mengejutkan
sekaligus membangunkan Bulan dari tidurnya. Astaga …! Rupanya tadi aku sedang bermimpi,
kata Bulan membatin. Perlahan diraihnya jam beker itu kemudian mematikannya. Di lihatnya hari sudah pukul
06.00 Wita. Perlahan dia bangun dari tempat tidurnya menuju lemari kecil yang
terletak di sudut kamarnya. Di atas lemari itu terletak foto Mas Agus,
kekasihnya.
Ditatapnya foto Mas Agus dengan
perasaan galau. Sudah hampir tujuh bulan
ini Mas Agus tidak pernah lagi memberi
kabar lewat surat atau telpon. Baginya kabar itu sangat penting untuk membuktikan
apakah dia masih setia dan sayang kepadanya.
Dua tahun yang lalu Mas Agus pergi
bertugas ke daerah konflik di Aceh. Di
sana, situasi keamanan tiada menentu sulit ditebak. Gerombolan pengacau keamanan
bisa datang mengacau kapan saja tak kenal waktu. Banyak gedung sekolah dibakar
hingga anak-anak tidak bisa sekolah sementara guru-guru pun juga merasa takut
untuk mengajar sehingga pendidikan jadi terabaikan. Tidak sedikit tentara yang
menjadi korban ditembak para gerombolan sampai tewas. Membayangkan hal seperti
itu Bulan merasa gelisah tetaapi
kemudian pikirkan itu cepat ditepisnya jauh-jauh.
“Mas Agus, mengapa Mas tidak menyempatkan diri memberi kabar walau cuma
lewat sms saja? Apakah Mas memang sudah melupakan aku karena sudah terpikat
dengan gadis di sana?” Kata Bulan membatin dengan hati yang risau.
“Salahkah aku bila berpaling pada laki-laki lain? Maafkan aku Mas, aku
sudah letih menanti kepastian kabar darimu.” Kata Bulan lagi sambil menatap
lekat foto Mas Agus.
***
Setelah sarapan pagi, bergegas
Bulan pergi ke sekolah agar tidak
terlambat. Dia bekerja pada salah satu Sekolah Menengah Pertama di kota
Pelaihari. Dia dipercaya mengajar sebagai guru Bahasa Indonesia. Dia tidak mau
kejadian seperti minggu yang lalu terulang lagi. Saat itu dia sempat
dipanggil kepala sekolah dan diingatkan
agar datang ke sekolah tidak terlambat lagi.
Akhirnya Bulan tiba di sekolah tepat
pada waktunya. Perlahan sepeda motor vario maticnya menuju tempat parkir. Tapi,
sial! Tempat parkir itu sudah penuh hingga dia
tidak bisa untuk parkir ditempat itu.
“Mari saya bantu memarkirnya,” kata Bintang datang dengan tiba-tiba
hingga membuat Bulan jadi terkejut dan hatinya jadi berdebar kencang.
“Eh-eh,”
kata Bulan gagap tak bisa berkata.
“Ah, lelaki ini yang selalu hadir menghias mimpiku hingga membuat hidupku
penuh semangat,” kata Bulan dalam hati.
Dengan sigapnya Bintang mencari celah untuk memarkir sepeda motor Bulan
hingga bisa parkir di tempat yang aman.
“Terima kasih Bintang,” kata Bulan sambil tersenyum hingga terlihat jelas
kedua lesung pipitnya yang dalam manis
menghias kedua pipinya.
Bergegas Bulan pergi hendak masuk
kelas, tapi langkahnya tersendat, ketika Bintang memanggilnya.
“Bu Bulan, tunggu sebentar.
Ini ada surat untukmu,” kata Bintang.
“Surat? Surat dari
siapa?” Kata Bulan.
“Surat dari aku untuk Bu Bulan,” Kata Bintang mantap sambil menunjuk
dirinya sendiri.
Dengan hati berdebar surat itu
diterimanya. Sebuah surat dengan amplop warna merah jambu dihiasi ornamen
bunga mawar yang mulai merekah.
“Terima kasih.” Kata Bulan singkat sambil meneruskan langkahnya
memamasuki kelas.
Di dalam kelas Bulan tidak bisa konsentrasi
mengajar anak-anak. Pikirannya hanya tertuju pada surat warna merah jambu dari
Bintang. Dia ingin cepat membacanya, agar tahu apa isi surat itu. Akhirnya dia
putuskan memberikan tugas kepada
anak-anak dengan membagikan lembaran LKS.
Dengan hati-hati Bulan membuka
surat itu, kemudian membacanya. Dia sangat gembira dan terharu. Rupanya surat
itu berisi ungkapan perasaan cinta
Bintang yang begitu dalam tulus kepadanya.
Betapa bahagia Bulan karena impiannya jadi kenyataan. Dia membayangkan
betapa indahnya merenda hari-hari bersama Bintang. Salah satu bagian surat berbunyi:
Bulan…, mimpi
terindahku adalah ingin hidup berdampingan denganmu. Andai impian itu kan terwujud, sudikah engkau berlayar
mengarungi luasnya samudera bersamaku? Bersamamu kuyakin bisa menentang gelombang yang ganas. Bersamamu kuyakin
kuasa menentang badai dasyat. Menuju
pantai harapan nan luas. Hingga engkau
lihat betapa indahnya malam berhiaskan bintang-bintang mengelilingi indahnya rembulan
di cakrawala sana.
***
Pukul 13. 00 Wita bel sekolah
berbunyi 6 kali pertanda pulang. Anak – anak bersorak gembira. Mereka berlari
berhamburan keluar kelas ingin segera cepat
pulang. Beberapa guru juga sudah bersiap untuk pulang. Bulan melangkah dengan raut muka cerah sumringah
menuju tempat parkir. Matanya menatap kesana-kemari seolah ada yang dicari. Ya, dia memang sedang
mencari seseorang, seorang Bintang, tapi rupanya Bintang sudah lebih dulu.
“Ah, rupanya dia sudah pulang lebih dulu,” kata Bulan dengan rasa kecewa.
Perlahan Bulan mengendarai sepeda
motor vario maticnya menyusuri jalan
menuju pulang ke rumahnya Pemandangan
alam yang indah membuatnya begitu betah tinggal
di kota ini. Sejauh mata memandang terhampar perkebunan kelapa sawit yang luas di kelilingi oleh pegunungan. Udara
pegunungan yang sejuk membuat orang
ingin berlama –lama berada di sana.
Beberapa orang tampak sedang
bekerja membersihkan tanaman kelapa sawit dari rumput liar yang mengganggu
pertumbuhannya. Seorang anak lelaki separoh baya mengambil rumput itu untuk makanan ternak sapi peliharaannya.
Tampak sekali anak itu begitu rajin dan telaten merawat hewan peliharaanya
karena hewan itu begitu gemuk dan bulunya tampak begitu bersih mengkilat terkena cahaya matahari yang
menembus disela-sela dedaunan.
Keadaan jalan yang cukup sepi membuat Bulan bisa menikmati pemandangan
itu sambil mengendarai sepeda motornya. Hingga tak terasa dia sudah sampai di
halaman rumahnya. Belum lagi pintu rumah diketuk, ibunya sudah membuka pintu
sambil tersenyum lebar. Bulan merasa sedikit heran, karena tidak seperti
biasanya ibunya bertingkah seperti itu.
“Bulan, kamu mimpi apa
tadi malam?” Kata ibunya penuh teka-teki.
“Ah, rasanya tidak mimpi
apa-apa Bu,” kata Bulan mencoba berbohong.
“Bulan cepat masuk. Coba lihat
siapa yang duduk di ruang tamu itu?”
kata ibunya.
Bulan melangkahkan kakinya memasuki
rumah. Dia sangat terkejut, ketika melihat siapa lelaki yang duduk di ruang
tamu itu. Lelaki itu dia, Mas Agus, orang yang selama ini menghilang tidak ada
kabar beritanya hingga membuat dia putus asa.
Bulan terpana berdiri terpaku. Dia
tidak tahu harus berbuat apa. Dia menjadi serba salah. Orang yang selama dia cintai
kini ternyata ada di depan matanya. Hati berkecamuk tak menentu. Tapi,
bagaimana perasaan cintanya kepada Bintang ? Harus dia akui, bahwa Bintang adalah sosok lelaki yang menarik
dan memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan Mas Agus. Bintang adalah
seorang yang romantis dan pandai menyenangkan hati wanita, sedangkan Mas Agus
seorang yang sangat kaku dan tanpa
basa-basi dalam berbicara.
“Bulan, kenapa diam
saja?” Kata ibunya.
Bulan baru sadar. Perlahan dia
mendekat sambil tersenyum tawar.
“Mas
Agus, kapan datang?”
“Baru saja. Maaf, aku
datang tidak memberi kabar lebih dahulu.
“Mas, kenapa selama ini tidak pernah memberi kabar kepadaku? Terus terang
selama ini aku menunggu kabar dari Mas dengan perasaan yang tak menentu. Begitu
sibuknyakah Mas hingga tak sempat memberi kabar walau cuma lewat sms?” kata
Bulan dengan suara bergetar.
“Bulan kuakui aku memang salah. Aku
terlalu sibuk dengan tugas-tugasku sehingga sampai lupa memberi kabar kepadamu,”
kata Mas Agus mencoba untuk menjelaskan.
“Bulan, aku punya kejutan untukmu,” kata Mas Agus sambil mengambil kotak
kecil berwarna merah dari balik jaket
lorengnya lalu menyerahkannya kepada Bulan.
Walau sedikit ragu, Bulan menerimanya juga. Dia merasa ada firasat
buruk. Matanya menatap tajam tajam kotak kecil itu penuh tanda tanya. Jantungnya
berdetak kencang. Badannya berkeringat
dingin dan nafasnyapun sedikit tersengal. Perlahan kotak kecil itu lalu dibukanya.
Betapa terkejut hatinya ketika melihat isi kotak kecil itu, ternyata sebuah cincin.
Cincin emas sebagai tanda bahwa Mas Agus ingin melamarnya. Tiba tiba Bulan merasa bumi seperti berputar, matanya berkunang-kunang, dan
dadanya merasa sakit tak bisa bernafas. Akhirnya semua menjadi gelap. Bulan tak
ingat apa-apa lagi.
***
Sudah tiga hari Bulan terbaring tak sadarkan diri di kamar
nomor 7 Rumah Sakit Haji .Boejasin. Dokter
spesialis jantung di rumah sakit itu menyatakan Bulan mengalami serangan
jantung yang serius sehingga perlu mendapatkan perawatan yang serius pula. Ibu
Bulan tak kuasa menahan sedih, karena Bulan adalah anak semata wayangnya. Ayah
Bulan yang sudah lama meninggal dunia juga karena penyakit yang sama akibat serangan
jantung. Dia tak kuasa membayangkan jika anak semata wayang yang sangat disayangnya itu juga harus pergi
meninggalkan dirinya. Bagi dia, Bulan adalah harapan satu-satunya dalam
hidupnya.
Bintang yang selama tiga hari ini selalu setia menunggu Bulan di rumah sakit tak bisa menyembunyikan rasa sedihnya.
Baginya, Bulan adalah cinta pertama dalam hidupnya. Cinta yang tumbuh dan
bersemi di dalam hatinya.
“Nak Bintang, ini titipan surat dan
sebuah kotak kecik warna merah berisi
cincin, ” kata Ibu Bulan sambil berdiri menyerahkan surat itu kepada Bintang.
“Surat dan kotak cincin siapa, Bu?” Kata Bintang merasa heran.
“Surat dari Mas Agus. Silakan baca
Nak! Nanti Nak Bintang akan tahu isinya,” kata Ibu Bintang
dengan penuh kesungguhan.
Bintang membaca surat itu dengan penuh
perhatian. Ternyata surat itu berisi permintaan Mas Agus untuk menjaga dan melindungi Bulan. Rupanya Mas Agus sadar
bahwa selama ini Bulan telah menemukan lelaki idamannya. Untuk itu dia rela
melepaskan Bulan. Dengan perasaan haru
Bintang menatap Bulan. Dielusnya lembut tangan Bulan dengan sepenuh perasaan. Dia
bersumpah akan selalu menjaga dan mencintai Bulan selama hidupnya.
Malam itu langit begitu cerah. Di langit Bulan purnama begitu
indah. Cahyanya menerangi alam semesta. Jutaan bintang bertaburan menghias angkasa raya.
Bintang menatap langit dari balik
jendela kamar. Dan dengan suara lirih
dia berkata:
“Bulan, mimpi
terindahku adalah ingin hidup berdampingan denganmu. Andaikan impian itu kan
terwujud sudikah engkau berlayar mengarungi samudera luas bersamaku? Bersamamu
aku yakin bisa mengtarungi gelombang yang ganas. Bersamamu aku kuasa menantang
badai. Menuju pantai harapan nan luas. Hingga engkau lihat betapa indahnya
malam berhiaskan bintang-bintang mengelilingi rembulan di cakrawala
Tamat
BULAN TERTUTUP AWAN
(Karya: Alfian Ripani, S.Pd)
Rembulan terpikat tersipu malu.
Ketika bintang datang mendekat. Ada rasa mengalir hangat. Dalam relung
hati sukma berhasrat. Melayang
angan terbang ke langit lepas. Menembus
cakrawala luas terlihat tak berbatas.
Kini, jelas sudah bagi Bintang apa
yang selama ini menyebabkan Bulan menjadi malu dan salah tingkah. Rupanya mimpi itu. Ya,
mimpi itu begitu membekas dalam dirinya
hingga tak pupus dari ingatan. Tak kuasa dia memendam mimpi-mimpi itu hingga akhirnya
dia tumpahkan mimpi itu pada Bintang,
lelaki yang selama ini diam-diam dipujanya, walaupun dengan muka sedikit memerah menahan rasa malu. Satu sikap yang perlu keberanian
luar biasa bagi seorang perempuan untuk menceritakan sebuah mimpi indahnya kepada
seorang lelaki yang diam-diam dipujanya.
“Ah, peduli amat! Bukankah di abad ke-21 ini tidak ada lagi perbedaan antara
laki-laki dan perempuan? Bukankah dulu Siti Zulaiha juga menyatakan rasa
cintanya kepada Nabi Yusuf juga secara terang-terangan? Dan bukankah pada
akhirnya Siti Zulaiha berhasil meraih cinta Nabi Yusuf walaupun sebelunya harus
melalui kejadian yang memalukan?” Guman Bulan di dalam hati.
Memang, sejak mengenal Bintang setahun yang lalu Bulan merasakan ada sesuatu yang menarik dan menjadi magnet
dalam diri lelaki itu hingga mampu menghipnotis dirinya. Seorang lelaki ganteng, ramah, murah senyum, dan enak diajak bicara. Dan
yang terpenting perhatiannya selama ini memberi nilai plus bagi Bulan. Pendek
kata, menurut Bulan, Bintang adalah sosok lelaki yang sempurna dan menjadi
idamannya. Lelaki yang selama ini mampu memelintir hatinya sekailgus mengisi kekosongan hatinya hingga membuat dia
bertekuk lutut tak berdaya.
Perlahan Bulan mengangkat mukanya.
Sambil menarik napas panjang dia lalu bercerita.
“Mas, tadi malam aku bermimpi bertemu denganmu,” kata Bulan perlahan.
Bintang mendengarkan Bulan bercerita dengan penuh perhatian. Dia tidak
ingin memotong cerita Bulan. Tatapan matanya yang lembut dan senyumnya yang menawan
menambah kekuatan bagi Bulan untuk melanjutkan ceritanya.
“Mimpi itu begitu indah. Kau
mencumbuku begitu mesra hingga sekujur tubuhku menggigil menahan gejolak jiwa.
Semua terasa begitu nyata hingga aku tak bisa melupakannya.” kata Bulan degan
suara serak dan lirih.
Sesaat keadaan menjadi hening.
Bulan tertunduk tak kuasa menatap Bintang. Dia merasa sangat gelisah menunggu reaksi dari Bintang.
Tapi, keadaan berubah ketika Bintang
berkata;
“Bulan, mengapa kita mengalami mimpi yang sama? Aku juga mengalami mimpi indah
seperti yang engkau alami, ” kata Bintang.
“Aku yakin, ini suatu pertanda
bahwa kita akan dipersatukan dalam ikatan cinta yang suci dan abadi,” kata
Bintang lagi sambil meraih dan mengelus lembut tangan Bulan.
Bulan diam tersipu malu. Ada rasa
hangat mengalir di tubuhnya. Ada rasa damai mengalir dalam dadanya
“Bulan, mimpi adalah lukisan hati yang terdalam. Melukiskan keadaan hati
yang sebenarnya. Bila mimpi itu menjadi nyata sudikah engkau hidup bersamaku untuk selamanya?” Kata Bintang
dengan suara bergetar penuh perasaan.
Ingin rasanya Bulan melonjak-lonjak
sambil berteriak karena girang mendengar kata-kata yang keluar dari mulut
Bintang. Untung saja dia masih bisa menahan diri. Kata-kata itu bagaikan melodi
cinta yang sangat merdu. Sanggup membuai dan mencumbu sukma yang selama ini mendambakan
akan cinta. Cinta seorang Bintang.
Tak kuasa Bulan untuk berkata. Kedua
bibirnya bergetar. Kedua bola matanya yang indah berkaca-kaca. Bulu matanya
yang lentik sedikit basah kena air mata. Air mata bahagia.
Bintang meraih pundak bulan. Lembut
perlahan dielusnya pundak itu dan Bulan pun
semakin terbenam dalam pelukan Bintang.
***
Kriiiiing…………..kriiiing…………kriiiing,
suara jam beker nyaring mengejutkan
sekaligus membangunkan Bulan dari tidurnya. Astaga …! Rupanya tadi aku sedang bermimpi,
kata Bulan membatin. Perlahan diraihnya jam beker itu kemudian mematikannya. Di lihatnya hari sudah pukul
06.00 Wita. Perlahan dia bangun dari tempat tidurnya menuju lemari kecil yang
terletak di sudut kamarnya. Di atas lemari itu terletak foto Mas Agus,
kekasihnya.
Ditatapnya foto Mas Agus dengan
perasaan galau. Sudah hampir tujuh bulan
ini Mas Agus tidak pernah lagi memberi
kabar lewat surat atau telpon. Baginya kabar itu sangat penting untuk membuktikan
apakah dia masih setia dan sayang kepadanya.
Dua tahun yang lalu Mas Agus pergi
bertugas ke daerah konflik di Aceh. Di
sana, situasi keamanan tiada menentu sulit ditebak. Gerombolan pengacau keamanan
bisa datang mengacau kapan saja tak kenal waktu. Banyak gedung sekolah dibakar
hingga anak-anak tidak bisa sekolah sementara guru-guru pun juga merasa takut
untuk mengajar sehingga pendidikan jadi terabaikan. Tidak sedikit tentara yang
menjadi korban ditembak para gerombolan sampai tewas. Membayangkan hal seperti
itu Bulan merasa gelisah tetaapi
kemudian pikirkan itu cepat ditepisnya jauh-jauh.
“Mas Agus, mengapa Mas tidak menyempatkan diri memberi kabar walau cuma
lewat sms saja? Apakah Mas memang sudah melupakan aku karena sudah terpikat
dengan gadis di sana?” Kata Bulan membatin dengan hati yang risau.
“Salahkah aku bila berpaling pada laki-laki lain? Maafkan aku Mas, aku
sudah letih menanti kepastian kabar darimu.” Kata Bulan lagi sambil menatap
lekat foto Mas Agus.
***
Setelah sarapan pagi, bergegas
Bulan pergi ke sekolah agar tidak
terlambat. Dia bekerja pada salah satu Sekolah Menengah Pertama di kota
Pelaihari. Dia dipercaya mengajar sebagai guru Bahasa Indonesia. Dia tidak mau
kejadian seperti minggu yang lalu terulang lagi. Saat itu dia sempat
dipanggil kepala sekolah dan diingatkan
agar datang ke sekolah tidak terlambat lagi.
Akhirnya Bulan tiba di sekolah tepat
pada waktunya. Perlahan sepeda motor vario maticnya menuju tempat parkir. Tapi,
sial! Tempat parkir itu sudah penuh hingga dia
tidak bisa untuk parkir ditempat itu.
“Mari saya bantu memarkirnya,” kata Bintang datang dengan tiba-tiba
hingga membuat Bulan jadi terkejut dan hatinya jadi berdebar kencang.
“Eh-eh,”
kata Bulan gagap tak bisa berkata.
“Ah, lelaki ini yang selalu hadir menghias mimpiku hingga membuat hidupku
penuh semangat,” kata Bulan dalam hati.
Dengan sigapnya Bintang mencari celah untuk memarkir sepeda motor Bulan
hingga bisa parkir di tempat yang aman.
“Terima kasih Bintang,” kata Bulan sambil tersenyum hingga terlihat jelas
kedua lesung pipitnya yang dalam manis
menghias kedua pipinya.
Bergegas Bulan pergi hendak masuk
kelas, tapi langkahnya tersendat, ketika Bintang memanggilnya.
“Bu Bulan, tunggu sebentar.
Ini ada surat untukmu,” kata Bintang.
“Surat? Surat dari
siapa?” Kata Bulan.
“Surat dari aku untuk Bu Bulan,” Kata Bintang mantap sambil menunjuk
dirinya sendiri.
Dengan hati berdebar surat itu
diterimanya. Sebuah surat dengan amplop warna merah jambu dihiasi ornamen
bunga mawar yang mulai merekah.
“Terima kasih.” Kata Bulan singkat sambil meneruskan langkahnya
memamasuki kelas.
Di dalam kelas Bulan tidak bisa konsentrasi
mengajar anak-anak. Pikirannya hanya tertuju pada surat warna merah jambu dari
Bintang. Dia ingin cepat membacanya, agar tahu apa isi surat itu. Akhirnya dia
putuskan memberikan tugas kepada
anak-anak dengan membagikan lembaran LKS.
Dengan hati-hati Bulan membuka
surat itu, kemudian membacanya. Dia sangat gembira dan terharu. Rupanya surat
itu berisi ungkapan perasaan cinta
Bintang yang begitu dalam tulus kepadanya.
Betapa bahagia Bulan karena impiannya jadi kenyataan. Dia membayangkan
betapa indahnya merenda hari-hari bersama Bintang. Salah satu bagian surat berbunyi:
Bulan…, mimpi
terindahku adalah ingin hidup berdampingan denganmu. Andai impian itu kan terwujud, sudikah engkau berlayar
mengarungi luasnya samudera bersamaku? Bersamamu kuyakin bisa menentang gelombang yang ganas. Bersamamu kuyakin
kuasa menentang badai dasyat. Menuju
pantai harapan nan luas. Hingga engkau
lihat betapa indahnya malam berhiaskan bintang-bintang mengelilingi indahnya rembulan
di cakrawala sana.
***
Pukul 13. 00 Wita bel sekolah
berbunyi 6 kali pertanda pulang. Anak – anak bersorak gembira. Mereka berlari
berhamburan keluar kelas ingin segera cepat
pulang. Beberapa guru juga sudah bersiap untuk pulang. Bulan melangkah dengan raut muka cerah sumringah
menuju tempat parkir. Matanya menatap kesana-kemari seolah ada yang dicari. Ya, dia memang sedang
mencari seseorang, seorang Bintang, tapi rupanya Bintang sudah lebih dulu.
“Ah, rupanya dia sudah pulang lebih dulu,” kata Bulan dengan rasa kecewa.
Perlahan Bulan mengendarai sepeda
motor vario maticnya menyusuri jalan
menuju pulang ke rumahnya Pemandangan
alam yang indah membuatnya begitu betah tinggal
di kota ini. Sejauh mata memandang terhampar perkebunan kelapa sawit yang luas di kelilingi oleh pegunungan. Udara
pegunungan yang sejuk membuat orang
ingin berlama –lama berada di sana.
Beberapa orang tampak sedang
bekerja membersihkan tanaman kelapa sawit dari rumput liar yang mengganggu
pertumbuhannya. Seorang anak lelaki separoh baya mengambil rumput itu untuk makanan ternak sapi peliharaannya.
Tampak sekali anak itu begitu rajin dan telaten merawat hewan peliharaanya
karena hewan itu begitu gemuk dan bulunya tampak begitu bersih mengkilat terkena cahaya matahari yang
menembus disela-sela dedaunan.
Keadaan jalan yang cukup sepi membuat Bulan bisa menikmati pemandangan
itu sambil mengendarai sepeda motornya. Hingga tak terasa dia sudah sampai di
halaman rumahnya. Belum lagi pintu rumah diketuk, ibunya sudah membuka pintu
sambil tersenyum lebar. Bulan merasa sedikit heran, karena tidak seperti
biasanya ibunya bertingkah seperti itu.
“Bulan, kamu mimpi apa
tadi malam?” Kata ibunya penuh teka-teki.
“Ah, rasanya tidak mimpi
apa-apa Bu,” kata Bulan mencoba berbohong.
“Bulan cepat masuk. Coba lihat
siapa yang duduk di ruang tamu itu?”
kata ibunya.
Bulan melangkahkan kakinya memasuki
rumah. Dia sangat terkejut, ketika melihat siapa lelaki yang duduk di ruang
tamu itu. Lelaki itu dia, Mas Agus, orang yang selama ini menghilang tidak ada
kabar beritanya hingga membuat dia putus asa.
Bulan terpana berdiri terpaku. Dia
tidak tahu harus berbuat apa. Dia menjadi serba salah. Orang yang selama dia cintai
kini ternyata ada di depan matanya. Hati berkecamuk tak menentu. Tapi,
bagaimana perasaan cintanya kepada Bintang ? Harus dia akui, bahwa Bintang adalah sosok lelaki yang menarik
dan memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan Mas Agus. Bintang adalah
seorang yang romantis dan pandai menyenangkan hati wanita, sedangkan Mas Agus
seorang yang sangat kaku dan tanpa
basa-basi dalam berbicara.
“Bulan, kenapa diam
saja?” Kata ibunya.
Bulan baru sadar. Perlahan dia
mendekat sambil tersenyum tawar.
“Mas
Agus, kapan datang?”
“Baru saja. Maaf, aku
datang tidak memberi kabar lebih dahulu.
“Mas, kenapa selama ini tidak pernah memberi kabar kepadaku? Terus terang
selama ini aku menunggu kabar dari Mas dengan perasaan yang tak menentu. Begitu
sibuknyakah Mas hingga tak sempat memberi kabar walau cuma lewat sms?” kata
Bulan dengan suara bergetar.
“Bulan kuakui aku memang salah. Aku
terlalu sibuk dengan tugas-tugasku sehingga sampai lupa memberi kabar kepadamu,”
kata Mas Agus mencoba untuk menjelaskan.
“Bulan, aku punya kejutan untukmu,” kata Mas Agus sambil mengambil kotak
kecil berwarna merah dari balik jaket
lorengnya lalu menyerahkannya kepada Bulan.
Walau sedikit ragu, Bulan menerimanya juga. Dia merasa ada firasat
buruk. Matanya menatap tajam tajam kotak kecil itu penuh tanda tanya. Jantungnya
berdetak kencang. Badannya berkeringat
dingin dan nafasnyapun sedikit tersengal. Perlahan kotak kecil itu lalu dibukanya.
Betapa terkejut hatinya ketika melihat isi kotak kecil itu, ternyata sebuah cincin.
Cincin emas sebagai tanda bahwa Mas Agus ingin melamarnya. Tiba tiba Bulan merasa bumi seperti berputar, matanya berkunang-kunang, dan
dadanya merasa sakit tak bisa bernafas. Akhirnya semua menjadi gelap. Bulan tak
ingat apa-apa lagi.
***
Sudah tiga hari Bulan terbaring tak sadarkan diri di kamar
nomor 7 Rumah Sakit Haji .Boejasin. Dokter
spesialis jantung di rumah sakit itu menyatakan Bulan mengalami serangan
jantung yang serius sehingga perlu mendapatkan perawatan yang serius pula. Ibu
Bulan tak kuasa menahan sedih, karena Bulan adalah anak semata wayangnya. Ayah
Bulan yang sudah lama meninggal dunia juga karena penyakit yang sama akibat serangan
jantung. Dia tak kuasa membayangkan jika anak semata wayang yang sangat disayangnya itu juga harus pergi
meninggalkan dirinya. Bagi dia, Bulan adalah harapan satu-satunya dalam
hidupnya.
Bintang yang selama tiga hari ini selalu setia menunggu Bulan di rumah sakit tak bisa menyembunyikan rasa sedihnya.
Baginya, Bulan adalah cinta pertama dalam hidupnya. Cinta yang tumbuh dan
bersemi di dalam hatinya.
“Nak Bintang, ini titipan surat dan
sebuah kotak kecik warna merah berisi
cincin, ” kata Ibu Bulan sambil berdiri menyerahkan surat itu kepada Bintang.
“Surat dan kotak cincin siapa, Bu?” Kata Bintang merasa heran.
“Surat dari Mas Agus. Silakan baca
Nak! Nanti Nak Bintang akan tahu isinya,” kata Ibu Bintang
dengan penuh kesungguhan.
Bintang membaca surat itu dengan penuh
perhatian. Ternyata surat itu berisi permintaan Mas Agus untuk menjaga dan melindungi Bulan. Rupanya Mas Agus sadar
bahwa selama ini Bulan telah menemukan lelaki idamannya. Untuk itu dia rela
melepaskan Bulan. Dengan perasaan haru
Bintang menatap Bulan. Dielusnya lembut tangan Bulan dengan sepenuh perasaan. Dia
bersumpah akan selalu menjaga dan mencintai Bulan selama hidupnya.
Malam itu langit begitu cerah. Di langit Bulan purnama begitu
indah. Cahyanya menerangi alam semesta. Jutaan bintang bertaburan menghias angkasa raya.
Bintang menatap langit dari balik
jendela kamar. Dan dengan suara lirih
dia berkata:
“Bulan, mimpi
terindahku adalah ingin hidup berdampingan denganmu. Andaikan impian itu kan
terwujud sudikah engkau berlayar mengarungi samudera luas bersamaku? Bersamamu
aku yakin bisa mengtarungi gelombang yang ganas. Bersamamu aku kuasa menantang
badai. Menuju pantai harapan nan luas. Hingga engkau lihat betapa indahnya
malam berhiaskan bintang-bintang mengelilingi rembulan di cakrawala
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar